Arsip | Juni, 2010

Bekerjalah untuk Duniamu Seakan-akan Engkau akan Hidup Selamanya

16 Jun

‘Bekerjalah engkau untuk kepentingan duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan bekerjalah engkau untuk kepentingan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok’.

Ungkapan tersebut sangat populer di masyarakat. Saking populernya, dianggap sebagai hadits Nabi saw. 

Sebenarnya, ungkapan tersebut BUKAN hadits. Ungkapan itu adalah perkataan seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu anhu. Jadi, ini hanya soal pandangan Abdullah tentang masalah keduniaan.

Lalu, apa makna ungkapan Abdullah bin Amr bin al-Ash itu? Tentu saja beragam jawabannya.

Pertama, ada anggapan bahwa kita harus hidup seimbang, antara dunia dan akhirat.

Kedua, ungkapan tersebut maknanya justru KEBALIKAN dari makna pertama. Artinya, ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa akhirat lebih utama dibanding dunia. Apa buktinya? Buktinya bahwa untuk urusan akhirat harus disegerakan (karena waktunya sempit, yaitu besok), dan urusan dunia boleh ditunda (karena waktunya masih panjang yaitu hidup selama-lamanya). 

Jadi, ungkapan tersebut hanya soal perbandingan antara dunia dan akhirat.

Perlu juga kita pahami bahwa yang namanya masalah keduniaan tidak melulu soal dunia, dan masalah keakhiratan tidak selalu soal akhirat. 

Bisa jadi, suatu perbuatan kelihatannya dunia, namun sebenarnya ia bernilai akhirat. Contoh: seorang pebisnis yang berbisnis untuk menafkahi keluarganya. Lalu ia tidak lupa bersedekah, berzakat, dan membantu orang lain.

Bisa jadi, suatu perbuatan kelihatannya akhirat, namun sebenarnya ia bernilai dunia. Contoh: membantu korban bencana sambil menonjolkan dirinya/partainya. Di sini perbuatannya bernilai dunia, yaitu pamrih ingin dipuji sebagai orang yang peduli atau dipuji sebagai partai yang pro rakyat. 

Jadi, perbuatan apapun yang bernilai akhirat, maka itu perlu diprioritaskan. Tentu saja dengan niat yang benar.

Jika niatnya akhirat, maka dunia akan ikut terbawa. Jika niatnya dunia, maka akhirat tidak akan ikut terbawa. Al-Quran menilainya seperti haba’an mantsura (debu yang beterbangan).

Apakah Allah Ada?: Belajar dari Debat Orang Beriman dengan Atheis

16 Jun

Suatu hari, terjadi perdebatan antara orang beriman yang cerdas dengan seorang atheis. Si atheis bertanya, ‘Anda percaya dengan adanya Allah?’

Orang beriman (mukmin) itu menjawab, ‘Ya, saya yakin dan tidak ragu sama sekali’.

Si atheis bertanya lagi, ‘Apakah Anda pernah melihat tuhan Anda?’

Si mukmin menjawab, ‘Belum’.

Si atheis bertanya lagi, ‘Apakah engkau pernah mendengar suaranya?’

Si mukmin menjawab, ‘Belum pernah sama sekali’.

Si atheis masih bertanya, ‘Apakah Anda pernah mencium baunya dan menyentuhnya?’

Si mukmin menjawab, ‘Tidak pernah’.

Terakhir, si atheis berkata, ‘Kalau begitu, bagaimana engkau bisa percaya dengan keberadaan Allah, Tuhanmu itu?’

Kini, giliran si mukmin berkata, ‘Saya tidak akan banyak tanya. Sekarang saya tanya: apakah Anda pernah melihat akalmu?’

Si atheis menjawab, ‘Tidak pernah’

Si mukmin bertanya lagi, ‘Apakah Anda pernah mencium baunya dan menyentuhnya?’

Si atheis menjawab, ‘Tentu saja belum pernah’.

Lalu si mukmin berkata, ‘Kalau begitu, bagaimana bisa Anda menganggap dirimu sebagai orang berakal?’

Si atheis pun diam seribu basa.

Ibn al-Arabi dan Ibnu Arabi: Apakah Sama?

15 Jun

Dalam banyak buku sering kita temukan nama Ibn al-Arabi dan Ibnu Arabi. Apakah dua nama itu sama, alias satu orang? Jawabnya: dua nama itu adalah nama dua orang yang berlainan.

Baik Ibnu al-Arabi dan Ibnu Arabi berasal dari Andalusia, sebuah kota yang melahirkan banyak ulama, cendekiawan, dan sastrawan. Keduanya adalah orang alim di bidangnya masing-masing.

Ibnu al-Arabi adalah seorang Qadhi (Hakim). Nama lengkapnya: Abu Bakar bin al-Arabi. Ia lahir lebih dulu dibanding Ibnu Arabi. Ibn al-Arabi lahir di Sevilla (Isybilia) 22 Sya’ban 468 Hijriah. Beliau wafat pada hari Ahad di bulan Rabi’ al-Awwal tahun 543 Hijriah, dalam usia 75 tahun. Ibn al-Arabi bermazhab Maliki.

Ketika melakukan kunjungan ke Baghdad, Ibn al-Arabi sempat bertemu Imam al-Ghazali. Ibn al-Arabi banyak menulis buku, yang terkenal di antaranya adalah Ahkam al-Quran (tafsir ayat ahkam), Aridhah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi (syarh hadits), dan al-Awashim min al-Qawashim (tentang kedudukan para sahabat sepeninggal Rasul saw., yang meng-counter pendapat Syiah Rafidhah).

Sedangkan Ibnu Arabi adalah seorang Sufi. Nama lengkapnya: Muhammad bin Ali bin Muhammad bin al-Arabi. Kadangkala namanya disebut Muhyiddin Ibnu Arabi, untuk membedakannya dengan Ibn al-Arabi. Ibnu Arabi lahir di Murcia, malam Senin 17 Ramadhan 560 Hijriah. Beliau wafat pada malam Jumat 22 Rabi’ al-Awwal 638 Hijriah, dalam usia 70 tahun. Karena ia seorang sufi, mazhabnya tidak jelas. Bahkan ada yang mengatakan ia bermazhab Syiah. Melihat ia besar di Andalusia, kemungkinan Ibnu Arabi adalah seorang Sunni, bermazhab antara Zhahiri dan Maliki. 

Ibnu Arabi menghasilkan banyak karya, sekitar 300 buku. Buku-buku yang dihasilkan Ibnu Arabi adalah tentang tasawwuf. Di antara buku-buku itu, yang dikenal adalah Fushush al-Hikam, Futuhat al-Makkiyyah, Tarjuman al-Asywaq, Muhadharat al-Abrar, dan al-Isfar. Futuhat adalah karya besarnya yg menyingkap ilmu ghaib antara sang hamba dan sang Khaliq. Dalam dunia tasawwuf, ia digelari Syaikh al-Akbar. 

Para ulama berbeda pendapat tentang Ibnu Arabi ini. Sebagian mengatakan ia adalah seorang wali, sebagian lain menuduhnya sesat, sebagian lagi tidak berkomentar apa-apa.

Tentang Ibnu Arabi, Imam Jalaluddin as-Suyuthi berkomentar, ‘Menurut saya, lebih utama adalah menganggapnya seorang wali. Buat orang-orang yang tidak memiliki kedalaman ilmu, sebaiknya tidak membaca buku-bukunya’.

Download Video Hot: Racun Berbisa yang Paling Banyak Dicari

13 Jun

Salah satu  nikmat Allah swt. yang besar manfaatnya adalah nikmat melihat. Oleh karena itu, nikmat tersebut harus digunakan di jalan ketaatan. Sebagai bentuk syukur atas nikmat penglihatan, Allah swt. memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan dari melihat hal-hal yang tidak baik, sebagaimana firman-Nya,

‘Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya, karena yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakan juga kepada wanita yang beriman agar mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya…’ (Q.s. an-Nur/24: 30-31)

Menurut Ibnu Katsir, ‘Dengan ayat ini Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar menundukkan pandangan mereka dari segala sesuatu yang diharamkan (untuk dilihat). Oleh karena itu, jangan melihat sesuatu kecuali yang dibolehkan. Jika pandangan seseorang beradu dengan sesuatu yang haram tanpa bermaksud melihatnya, maka hendaknya ia mengalihkan pandangannya dengan segera’.

Yang dimaksud menundukkan pandangan adalah ‘menjaga pandangan agar tidak liar’. Rasulullah saw. bersabda,

‘Pandangan adalah panah yang beracun, yang merupakan salah satu panahnya Iblis’. (Hadits, riwayat Ahmad dan al-Hakim)

Baca lagi sabda Rasul saw. di atas. Perhatikan, bahwa beliau saw. mengumpamakan pandangan dengan panah yang beracun. Sekarang, bayangkan sebuah panah beracun keluar dari busurnya, kemudian tepat menikam jantung Anda. Apa yang terjadi? Tidak lama kemudian Anda pun mati. Ya, Anda mati karena tikaman racunnya!

Racunnya bukan hanya itu. Rasulullah saw. juga bersabda,

 ‘Seorang wanita (istri) tidak boleh melihat wanita lain untuk menggambarkan wanita tersebut kepada suaminya, sehingga seakan-akan suaminya sedang melihat wanita tersebut’. (Hadits, riwayat Bukhari)

Mengapa Rasulullah saw. melarang seorang istri menggambarkan wanita lain kepada suaminya? Supaya suami tidak tergerak syahwatnya dan berhasrat kepada wanita tersebut, seakan-akan ia sedang langsung melihat sendiri wanita tersebut!

Kita dapat menganalogikan larangan memandang lawan jenis dengan larangan Allah swt. kepada Adam dan Hawa alayhimas salam untuk makan buah yang terlarang di surga. Allah swt. tidak mengatakan, ‘Jangan kalian makan buah ini’, melainkan ‘Jangan kalian dekati pohon ini’. Artinya, mendekati saja dilarang, apalagi memakannya!

Betapa halusnya ucapan Rasulullah saw. ketika ia  bersabda, ‘Allah menetapkan larangan-larangan, oleh karena itu jangan kalian dekati. Barangsiapa bermain-main di sekitar larangan-larangan itu, aku kuatir ia akan terperosok ke dalamnya’. (Hadits, riwayat Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Sekali Anda memandang yang haram, maka hati Anda menjadi goyah dan iman menjadi lemah. Sekali Anda memandang yang haram, maka Anda akan didera penderitaan yang panjang, karena hati Anda kini dijerat syahwat membara. Sekali Anda memandang yang haram, Iblis siap mengantar Anda menuju pintu-pintu kemaksiatan.

Na‘udzu billah…

Menjaga Kesucian Diri

4 Jun

Islam adalah agama yang mencintai kesucian, baik kesucian fisik atau ruhani. Tidak ada agama yang begitu peduli dengan masalah kesucian. Kita akan temukan bahwa di antara wahyu yang pertamakali turun kepada Nabi Muhammad saw. adalah ayat, ‘Dan pakaianmu bersihkanlah’. (Q.s. al-Mudatstsir/74: 4)

Bahkan, lebih dari itu, Islam memerintahkan umatnya untuk berhias-diri. Di antara perintah Allah swt. tentang hal ini adalah, ‘Hai manusia, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid…’ (Q.s. al-A‘raf/7: 31)

Selain Islam, tidak ada agama yang menaruh perhatian besar terhadap masalah kesucian. Pada abad pertengahan, para pendeta Kristen mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara tidak membersihkan badan dengan air. Mereka beranggapan bahwa makin kotor badan mereka, maka Tuhan makin dekat dengan mereka. Sebuah pandangan yang konyol!

Untuk menjaga kesucian diri, maka dalam Islam dikenal istilah thaharah. Secara bahasa, thaharah artinya kebersihan diri dari kotoran-kotoran hissiyyah (yang dapat di-indra) maupun kotoran-kotoran maknawiyyah (yang tidak dapat di-indra).

Lawan dari thaharah adalah najasah (najis). Najis ada yang hissiyyah dan maknawiyyah. Najis hissiyyah dapat dihilangkan dengan air dan alat-alat lain yang menyucikan. Najis maknawiyyah tidak dapat dihilangkan kecuali dengan taubat dan iman.

Umumnya, dalam kitab-kitab fiqh, para fuqaha meletakkan masalah Thaharah di bab pertama. Mengapa? Karena kewajiban pertama seorang hamba kepada Allah swt. adalah beribadah kepada-Nya. Ibadah yang paling agung adalah shalat, yang merupakan fondasi agama. Dan, syarat pertama dari shalat adalah thaharah (bersuci), sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw, ‘Shalat tidak diterima Allah jika  tanpa bersuci terlebih dahulu’. (Hadits, riwayat Muslim)

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan pada suatu kali Rasulullah saw. bersabda, ‘Kesucian-diri adalah separuh iman’. (Hadits, riwayat Muslim)

 

Nama-nama Properti Rasulullah saw.

1 Jun

Salah satu kebiasaan Rasulullah saw. adalah memberi nama terhadap properti (barang-barang) yang dimilikinya. Berikut ini adalah nama-nama properti tersebut.

Nama gelasnya adalah ar-Rayyan

Nama mangkoknya adalah al-Gharra’

Nama tekonya adalah as-Shadir

Nama tikarnya adalah al-Kazz

Nama guntingnya adalah al-Jami‘

Nama cerminnya adalah al-Mudillah

Beliau memiliki sebuah kotak untuk menyimpan cermin, sisir, gunting, dan siwak.

Nama tongkatnya adalah al-Mamsyuq

Nama tongkatnya yang ujungnya besi adalah an-Namir

Nama kudanya yang berwarna hitam adalah as-Sakb

Nama kudanya yang berambut pirang adalah al-Murtajiz

Nama kudanya yang lain adalah al-Lahif, az-Zharb, dan al-Lizaz

Nama pelana-kudanya adalah adalah ar-Rajj

Nama unta (betina)-nya adalah al-Qashwa atau disebut pula al-Adhba’

Nama baghal-nya adalah Duldul

Nama keledainya adalah Ya‘fur

Nama kambing yang sering diminum susunya adalah Ghaytsah

Nama kemahnya adalah al-Kinn

Nama bendera yang dipakai untuk berperang adalah al-Uqab. Kadangkala beliau menggunakan bendera berwarna hitam, kuning, atau putih yang di dalamnya ada garis-garis hitam.

Nama pedang yang sering dipakai berperang adalah Dzul Fiqar. Gagangnya, alasnya, dan anting-pedang Dzul Fiqar dihias dengan perak. Selain Dzul Fiqar, beliau juga punya pedang-pedang lainnya.

Nama tabung panahnya adalah al-Kafur atau Dzul Jum‘

Nama busur panahnya adalah Dzus Sadad

Nama perisainya adalah al-Dzafn

Nama baju perangnya yang dilapisi tembaga adalah Dzat al-Fudhul

Nama tembok (benteng pertahanan)-nya adalah an-Nab’a’

Nama budak perempuannya adalah Khadhirah.

Sumber: Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Yusuf Ismail an-Nabhani, Wasa’il al-Wushul ila Syama’il al-Rasul (Dar el-Minhaj, Beirut, 2009)