Tag Archives: rizki

Cara Melakukan Maksiat yang Benar

28 Mar

Seseorang mengunjungi Ibrahim bin Adham rahimahullah. Ia berkata, ‘Wahai Imam, saya ingin bertaubat dan meninggalkan perbuatan dosa. Jika sekiranya aku kambuh lagi, tolong tunjukkan padaku sesuatu yang dapat mencegahku berbuat dosa, sehingga aku tidak menentang Allah lagi’.

Ibrahim bin Adham berpesan kepadanya, ‘Jika engkau ingin berbuat maksiat kepada Allah, maka jangan lakukan maksiat di bumi-Nya’. Orang itu berkata, ‘Kalau begitu, dimana aku bisa berbuat maksiat?’. Ibrahim bin Adham berkata, ‘Pokoknya, keluarlah engkau dari bumi-Nya’. Orang itu berkata, ‘Wahai Imam, bagaimana mungkin, padahal semua bumi adalah milik-Nya?’. Ibrahim berkata, ‘Jika semua bumi adalah milik Allah, lalu mengapa engkau masih ingin berbuat maksiat di bumi-Nya?’

Ibrahim berkata lagi, ‘Jika engkau ingin berbuat maksiat, maka engkau jangan menikmati rizki-Nya’. Orang itu berkata, ‘Lalu bagaimana aku bisa hidup?’. Ibrahim berkata, ‘Tahu begitu, mengapa engkau masih bermaksiat pada-Nya?’

Ibrahim berkata lagi, ‘Jika engkau masih keukeh ingin bermaksiat, maka lakukanlah maksiat itu di tempat yang tidak dilihat-Nya’. Orang itu berkata, ‘Bagaimana mungkin aku melakukan maksiat, padahal Dia selalu bersama kita di manapun kita berada?’. Ibrahim berkata, ‘Kalau begitu, mengapa engkau masih bermaksiat pada-Nya padahal Dia dekat dengan dirimu?’

Ibrahim bin Adham berkata, ‘Jika engkau masih ngotot juga ingin melakukan maksiat, maka ketika malaikat pencabut nyawa mendatangimu untuk mencabut nyawamu, maka katakanlah kepadanya, ‘Eittsss.. jangan cabut nyawaku, biarlah saya taubat dulu’. Orang itu berkata, ‘Siapa yang berani berkata begitu?’. Ibrahim berkata, ‘Jika engkau tidak berani berkata seperti itu, mengapa engkau masih ingin melakukan maksiat?’

Ibrahim bin Adham berkata lagi, ‘Jika engkau masih bersikeras juga ingin melakukan maksiat, maka ketika malaikat Zabaniyah (penjaga neraka) menggiringmu ke neraka, maka katakan kepada malaikat itu, ‘Aku tidak mau ikut bersamamu’. Orang itu berkata, ‘Siapa yang mampu melakukan yang demikian?’

Terakhir, Ibrahim bin Adham berkata, ‘Setelah aku katakan semua ini, apakah engkau masih tidak malu untuk melakukan maksiat?’

Hmm… Jika Anda masih keukeuh bin ngotot ingin melakukan maksiat juga, maka ulangi lagi membaca pesan Ibrahim bin Adham di atas. Mudah-mudahan maksiat Anda menjadi ‘benar’.

Karakter Orang yang Percaya dengan Qadha Allah swt.

14 Mar

Percaya kepada qadha (ketentuan) Allah swt. adalah salah satu rukun iman. Dengan beriman kepada qadha Allah maka kita akan memiliki karakter sebagai berikut.

Pertama, merasa ridha dengan apa yang terjadi terhadap diri kita, karena semuanya itu adalah kehendak Allah. Bisa jadi, apa yang tidak baik menurut pandangan kita, justru membawa kebaikan untuk kita. Begitu pula sebaliknya. Allah lebih tahu apa yang baik dan buruk untuk diri kita.

Allah berfirman, ‘… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia membawa kebaikan untukmu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia membawa keburukan untukmu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui’. (Q.s. al-Baqarah/2: 216)

Oleh karena itu, orang yang beriman kepada qadha Allah, maka ia akan bersabar ketika ditimpa musibah, dan bersyukur ketika diberi nikmat. Begitulah karakter orang beriman.

Menurut pengakuan Shuhaib radhiyallahu anhu Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Sungguh fantastis kehidupan orang beriman, karena seluruh urusannya membawa kebaikan. Tidak ada orang yang seperti itu kecuali orang beriman. Jika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, maka yang demikian itu membawa kebaikan baginya. Jika ia mendapatkan nikmat, ia bersyukur, maka yang demikian itu membawa kebaikan baginya’. (Hadits, riwayat Muslim)

Kedua, tidak merasa dengki dengan orang yang diberi nikmat. Orang yang beriman kepada qadha Allah percaya bahwa rizki datang dari-Nya dan Ia memberi kadar rizki yang berbeda untuk setiap makhluknya.

Ketiga, memiliki jiwa yang mulia dan hati yang qana‘ah (merasa-cukup)

Keempat, menyerahkan segala urusan-hidup kepada Allah dengan lapang dada dan hati yang senang

Kelima, bersungguh-sungguh dalam berusaha tanpa dihinggapi rasa lemah dan malas. Semua ini dilakukan untuk mengikuti tuntunan Rasulullah, di mana beliau bersabda, ‘Bersungguh-sungguhlah melakukan sesuatu yang mendatangkan manfaat untuk diri kalian, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kalian lemah. Jika kalian ditimpa sesuatu yang kurang menggembirakan, janganlah kalian berkata, ‘Kalau saja aku melakukan begini, pasti hasilnya juga begini’. Namun, katakanlah, ‘Allah sudah menakdirkannya dan menghendakinya’. (Hadits, riwayat Muslim)

Keenam, memiliki cita-cita yang kuat dan pantang menyerah. Muslim adalah orang yang tahan banting. Baginya, hidup adalah perjuangan.

Kaya Belum Tentu Mulia, Miskin Belum Tentu Terhina

12 Mar

Hari ini (12/3/2010) koran Republika menurunkan berita tentang 7 WNI yang masuk daftar seribu orang kaya dunia versi majalah Forbes edisi 10 Maret 2010. Jika Anda memiliki kekayaan 1 miliar dolar AS, maka Forbes akan mencatat nama Anda sebagai salah satu orang kaya dunia. Itu adalah syarat keramat yang diajukan Forbes.

Mereka adalah kakak-beradik Michael Hartono dan Budi Hartono (Group Djarum), Martua Sitorus (Wilmar International), Peter Sondakh (Group Rajawali), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Low Tuck Kwong (Bayan Resources), dan Chairul Tanjung (Group Para).

Jika kita ditanya, apakah ingin seperti mereka? Kebanyakan di antara kita akan menjawab: YES! Kita menganggap bahwa kekayaan adalah parameter tunggal untuk menjadi mulia. Kita menganggap bahwa harta banyak pertanda bahwa kita disayang Tuhan. Benarkah begitu? Sebaiknya, anggapan itu Anda lupakan saja.

Allah swt. berfirman,

Dan jika Allah melapangkan rizki kepada hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha melihat. (Q.s. as-Syura/42: 27)

Tentang ayat di atas, Syaikh Wahbah az-Zuhayli berkomentar, ‘Seandainya Allah melapangkan dan memberikan rizki kepada hamba-Nya di atas kebutuhan mereka, niscaya mereka akan bersikap pongah, melampaui batas, melakukan maksiat di bumi, mengingkari nikmat, sombong, dan mengejar sesuatu yang tidak perlu dikejar. Hal yang demikian terjadi pada diri Firaun dan Qarun. Namun, Allah menurunkan rizki untuk hamba-Nya dengan takaran yang telah ditentukan berdasarkan keadaan hamba-Nya dan memilihkan rizki yang sesuai dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, Allah memberikan kekayaan kepada orang yang pantas menerimanya dan memberikan kemiskinan kepada orang yang pantas menerimanya. Allah sungguh tahu keadaan hamba-Nya. Allah sungguh melihat apa yang paling pantas untuk hamba-Nya, apakah dengan meluaskan rizki hamba-Nya atau menyempitkannya’. (Tafsir al-Munir, jilid ke-13)

Allah itu Maha Adil, yang dengan Keadilan-Nya Ia bagikan rahmat-Nya sesuai keadaan hamba-Nya. Allah itu Maha Pemelihara, yang dengan Pemeliharaan-Nya Ia memelihara keseimbangan hidup umat manusia.

Sesungguhnya, kaya adalah kaya hati, dan miskin adalah miskin iman. Berbahagialah orang yang kaya materi yang dapat menjaga hatinya dari belitan dunia, dan berbahagia pula orang miskin yang dapat menjaga imannya dari serbuan budaya konsumerisme.