Untung Ada al-Ghazali

29 Des

Para pencari ilmu akan kenal dengan Imam al-Ghazali, sang Hujjatul Islam. Karya-karya al-Ghazali begitu bermanfaat buat orang banyak. Tidak terhitung para ulama dan akademisi yang mendalami karya-karyanya. Orang yang mengaku cinta ilmu, namun ia tidak pernah membaca apalagi mendengar nama kitab Ihya Ulumuddin, karya fenomenalnya, maka pengakuannya tertolak dan keilmuannya perlu diragukan. Kitab Ihya memang tidak pantas dilewatkan oleh para pencari ilmu. Meskipun al-Hafizh al-Iraqi melakukan ta‘liq terhadap hadits-hadits yang ada dalam Ihya dan ditemukan ada yang bermasalah, namun hal itu tidak mengurangi ketinggian karya al-Ghazali ini. Betapa banyak para ulama besar yang di dalam karya-karyanya masih memuat hadits-hadits bermasalah. Sebut saja, misalnya, Ibnu al-Jawzi al-Baghdadi, alim besar bermazhab Hanbali yang memiliki banyak karya penting dalam khazanah keilmuan Islam, masih memuat hadits-hadits yang tidak ditemukan dasarnya, dalam karyanya Bustan al-Wa’izhin.

Di antara karya al-Ghazali yang layak dibaca adalah kitab al-Arbain fi Ushuluddin. Kitab ini dibagi dalam empat kategori. Kategori pertama membahas pokok-pokok akidah. Kategori kedua membahas amalan-amalan lahiriah dan peribadatan. Kategori ketiga membahas penyucian hati dari akhlak-akhlak tercela dan cara menyucikannya. Kategori keempat membahas cara menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia. Inilah kitab yang diwasiatkan para ulama salaf untuk dibaca dan dipesankan para ulama khalaf untuk dipelajari.

Saya tersenyum ketika membaca pembahasan tentang kelompok orang-orang yang melakukan riya dalam kitab itu. Saya tersenyum karena saya termasuk di dalamnya dan kena smash dari al-Ghazali. Dan, saya tidak tahu apakah orang lain akan tersenyum juga ketika membacanya.

Nah, kali ini saya akan posting tulisan al-Ghazali yang ada dalam kitab itu. Insya Allah, terjemahan saya tidak begitu meleset dari bahasa aslinya. Saya berharap Anda tidak tersenyum ketika membacanya, apalagi merasa kena smash dari al-Ghazali.

Menurut al-Ghazali, hakikat riya adalah mencari ‘posisi’ dalam hati manusia melalui amalan ibadah dan amalan kebajikan (thalab al-manzilah fi qulub al-nas bil ibadat wa a‘mal al-khayr).

Lalu al-Ghazali membagi pelaku riya menjadi 6 kelompok, dilihat dari beberapa segi.

Pertama, riya dari segi fisik (ar-riya’ min jihat al-badan), tandanya yaitu menampakkan wajah pucat agar disangka sedang berpuasa, atau menunjukkan kesedihan agar disangka peduli dengan urusan agama, atau menampakkan rambut yang kusut agar disangka tenggelam dengan urusan agama dan tidak memikirkan dirinya sendiri, atau menampakkan mulut yang bau agar disangka sedang berpuasa, atau merendahkan suara agar disangka sedang serius ber-mujahadah.

Kedua, riya dari segi gaya (ar-riya’ bil hay’ah), tandanya yaitu seperti memendekkan kumis, menundukkan kepala ketika berjalan, menampakkan ketenangan ketika berjalan, meninggalkan bekas sujud di wajah (maksudnya: tanda hitam di jidat), memejamkan mata agar disangka sedang terkena tarikan ruhani (al-wajd) dan penampakan ruhani (mukasyafah) atau sedang tenggelam memikirkan sesuatu persoalan (gha’ish fil fikr).

Ketiga, riya dari segi pakaian (ar-riya’ fi al-tsiyab), tandanya yaitu seperti memakai pakaian ala sufi, pakaian kasar, memendekkan pakaian sampai setengah betis, membiarkan pakaian terlihat compang-camping dan kumal, semuanya itu agar disangka ia tidak punya waktu untuk mengurusi yang demikian. Tanda lainnya shalat di atas sajadah agar disangka seorang sufi, padahal ia tidak tahu siapa hakikat sufi yang sebenarnya. Tanda lainnya adalah memakai jubah, seledang, dan melebarkan lengan baju, agar disangka ia orang alim. Tanda lainnya adalah memakai kaos tangan/kaki agar disangka ia orang yang hidup sederhana karena begitu hati-hatinya dengan debu jalanan.

Keempat, riya dari segi perkataan (ar-riya’ bil qawl), tandanya yaitu seperti seorang pemberi nasihat dan peringatan yang membagus-baguskan perkataannya dan mengungkapkannya dengan kalimat puitis, atau berbicara dengan ungkapan-ungkapan hikmah dan ucapan para salaf sambil melembutkan suara dan menampakkan kepiluan, padahal batinnya kosong dari ketulusan dan keikhlasan, namun ia melakukan semua itu agar disangka begitu. Orang seperti ini juga menampakkan kesedihan di tengah orang banyak, namun ketika sendiri ia bermaksiat kepada Allah. Tanda lainnya seperti orang yang mengklaim hapal hadits dan bertemu dengan banyak guru, dan ia dengan mudah mengatakan bahwa hadits ini shahih, hadits itu cacat, agar ia disangka pakar dalam soal ilmu hadits. Tanda lainnya adalah seperti orang yang menggerak-gerakan bibir dengan zikir dan melakukan amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat, padahal hatinya tidak merasa sakit ketika melakukan maksiat. Tanda lainnya adalah seperti orang yang menampakkan rasa marah dengan kemaksiatan yang terjadi, namun ketika ia melakukan maksiat, hatinya tidak merasakan pedih.

Kelima, riya dari segi perbuatan (ar-riya’ bil amal), tandanya yaitu seperti melamakan berdiri ketika shalat, membagus-baguskan ruku‘ dan sujud, menundukkan kepala, tidak banyak bergerak, gemar bersedekah, berpuasa, berhaji, pelan dalam berjalan, mengendurkan kelopak mata, padahal Allah swt tahu seandainya ia dalam kesendirian, ia tidak akan melakukan semua itu. Bahkan, ia akan malas-malasan ketika shalat, cepat-cepat ketika berjalan, namun ketika muncul orang lain, ia kembali bersikap tenang, agar disangka khusyu‘.

Keenam, riya dari segi memperbanyak murid dan sahabat dan memperbanyak menyebut nama para guru (ar-riya’ bi katsrat al-talamidzat wal ashhab wa katsrat dzikr al-syuyukh), agar disangka ia banyak bertemu dengan para guru, atau seperti orang yang senang didatangi para ulama dan penguasa, agar disangka sebagai orang yang diminta keberkahannya.

Semua tanda yang disebutkan di atas adalah yang menyangkut urusan agama. Hukum semuanya adalah haram, bahkan termasuk dosa besar. Namun, jika mencari ‘posisi’ di hati orang lain dengan perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk ibadat dan amalan-amalan agama, maka hal itu tidaklah haram, sepanjang di dalamnya tidak ada talbis (campur aduk), sebagaimana telah aku nyatakan dalam pembahasan tentang ‘Mencari Kedudukan’ (thalab al-jah). Para ahli dunia mencari kedudukan dengan memperbanyak harta dan anak, membaguskan pakaian kebanggaan, menghapal syair, ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu nahwu dan bahasa, dan lain sebagainya. Yang demikian itu tidaklah haram sepanjang tidak berhenti (dimaksudkan) untuk menyakiti orang lain, menunjukkan kesombongan, dan menunjukkan akhlak tercela lainnya.

Itulah kata al-Ghazali. Saya tidak tahu apakah Anda ikut tersenyum atau malah tersindir ketika membacanya. Namun, janganlah kesal dengan apa yang dikatakan al-Ghazali. Menolak nasihat yang baik adalah tanda hati yang kusam. Lebih baik tersenyumlah, karena apa yang dikatakan al-Ghazali adalah obat bagi sakitnya hati kita dan air dingin bagi gersangnya kalbu kita.

Selain tersenyum, kita patut berterimakasih dengan al-Ghazali, karena kita beruntung masih diingatkan.

Ingatkanlah orang lain, karena pengingatan itu bermanfaat buat orang-orang beriman. (al-Quran, surat adz-Dzariyat/51:55)

 

 

22 Tanggapan to “Untung Ada al-Ghazali”

  1. kgs m syukri 14 April 2015 pada 08:35 #

    ya Allah ya Karim betapa banyak pujian baik yang tak layak bagiku telah kau sebarkan, betapa banyak rintangan yang telah kau singkirkan , betapa kejelekan telah kau tutupi.

  2. fath rahmaan 20 November 2013 pada 09:51 #

    semuanya mengsmashkan diriku…. Astaghfirullah…

  3. dindin 23 Oktober 2013 pada 00:16 #

    Assalammualaikum bang, Alhamdullillah dan insya allah seingat saya ga ngelakuin sifat2 diatas tapi masalahnya karena saya blm bs beribadah bang..hehehe..jadi saya cuma minta tolong mohon doain saya yang keren keren sesuai imajinasi doa bang….sebelumnya terima kasih banyak semoga abang selalu diberkahi rahmat ALLAH, AMIIN

  4. Aa 21 Januari 2013 pada 08:32 #

    ya intinya imam ghazali mengajarkan..
    Krn riya itu urusan hati..jadi yg tahu ttg cacat riya itu hnya Pribadi masing2 orang dan Allah Swt.
    mau jenggot panjang,ibadah kelihatan orang,mau mrunduk saat dijalan.dan smua yg disbutkan diatas tdak pngaruh…Asalkan qt Buanglah Sifat riya dlm kolbu..
    Jgn ada kata *Takut dibilang…*(oleh manusia)
    Tp krna Allah aja

  5. Aris 6 Januari 2013 pada 17:17 #

    Assalamu’alaikum ustadz…
    ana mohon izin mengcopy.. ilmu yang sangat harus dipelajari bagi setiap muslim dan muslimah yang ingin hatinnya jernih…
    Astaghfirullohal’adziim…

    • Bang Aziem 18 Februari 2013 pada 14:39 #

      Wa alaikumussalam wa rahmatullah, akh Aris. Silakan di-copy.

  6. paijo 6 Desember 2012 pada 12:44 #

    Oke..

  7. tokoperak 7 Juli 2012 pada 11:28 #

    iklas seperti membuang angin lepas lega

  8. temmy 1 Februari 2012 pada 20:54 #

    Assalamu’alaikum Ya Ustadz,

    Ane minta izin copy paste ya. terimakasih

  9. Afif Hidayat 22 Oktober 2011 pada 01:50 #

    Izin copas uzstadunal kirom……

  10. farel 22 April 2011 pada 20:01 #

    bisa beli kitab i i dimana mas? coz susuah sekali cari kitab ini

    • Bang Aziem 22 April 2011 pada 20:27 #

      Kalau antum berminat, insya Allah nanti saya coba hubungi kawan saya yg punya link ke Jeddah. Mudah2an kawan saya itu bisa membantu.

  11. farel 22 April 2011 pada 19:46 #

    bisa beli kitab ini di mna mas? coz dah tak cari kemana2 ada temen yang lagi cari kitab ini. makasih

    • Bang Aziem 22 April 2011 pada 20:07 #

      Kitab al-Arbain fi Ushuluddin yang saya punya terbitan Dar el-Minhaj, Jeddah. Terbitan ini saya nilai paling bagus tahqiq-nya dibanding terbitan penerbit lain.

  12. ibrahim salim 21 April 2011 pada 13:22 #

    Asslm, akh dimana ana bisa dapatkan kitab al-Arbain fi Ushuluddin (edisi terjemahan Indonesia), kalau antum bisa cariin, ana sangat menghargai sekali.

    salam

    • Bang Aziem 21 April 2011 pada 15:40 #

      Wa alaykumussalam Ustadz… Kalo gak salah, ane pernah denger ada terjemahannya… insya Allah, nanti ane sebar intel ane buat membantu keinginan antum, hehehhe…

  13. nirwan 12 Februari 2011 pada 09:56 #

    salah seorang pemikir yang seharusnya dikagumi dan dipelajari ulang. 🙂

  14. Oki 1 Februari 2011 pada 00:35 #

    Emang Ulama2x tempoe doeloe benar2x mantab. Ngebaca ini perasaan makin hari makin kotor aja ane. Memang riya itu dosa yg plg tua dan halus bgt. Ya ALLAH BIHAA…YA ALLAH BIHAA YA ALLAH BIKHUSNILKHATIMAH. amien

  15. alfaqir 31 Desember 2010 pada 13:49 #

    Assalamu’alaikum Ya Ustadz,

    Afwan ijinkan ana bertanya terkait postingan antum di ataas.
    Bagaimana penjelasannya jika paparan Imam Ghazali di atas dikaitkan dengan sebuah Kalam (afwan ana lupa sumbernya) yang menyebutkan bahwa: “Barangsiapa yang beramal karena takut riya’ maka ia terbebas dari riya’ sedangkan Barangsiapa meninggalkan amal karena takut riya’ maka itulah hakikat riya’ yg sebenarnya”

    Demikian pertanyaan ana, atas penjelasan antum ana ucapkan terima kasih.

    • Bang Aziem 14 Januari 2011 pada 16:14 #

      Wa alaykumussalam wa rahmatullah…

      Ucapan yang antum maksud sangat masyhur (populer) di kalangan para sufi dan zahid. Sepanjang yang saya tahu, itu adalah ucapannya Fudhayl bin Iyadh, ‘Min al-riya’ tark al-amal khawfan min al-riya’, wa amma al-amal li ajl al-nas fa huwa syirkun, artinya ‘Termasuk riya’ adalah meninggalkan amal karena takut dibilang riya’, adapun beramal karena manusia, maka itu termasuk syirik’. Begitu pula meninggalkan ketaatan dengan alasan takut dibilang riya’.
      Apa yang dikatakan Fudhayl dibenarkan oleh al-Ghazali dalam kitab itu.

      Syukron bi su’alikum…

  16. alfaqir 31 Desember 2010 pada 11:12 #

    na’udzubillahi min syarri dzalik
    Ya Robb, selamatkanlah lahir dan batinku, Duhai Yang Maha Tahu keadaanku

Tinggalkan komentar