Tag Archives: puasa

Arti Kesuksesan Sejati

2 Sep

Arti Kesuksesan Sejati

Khutbah Idul Fitri 1432 H

Masjid Jami’ Darul Hikam

Jatiwaringin Antilop, Pondok Gede, Bekasi Barat

Rabu, 31 Agustus 2011

Oleh:  Abdul Aziem al-Batavy

 Khutbah Pertama

الخطبة الأولى

اللهُ أَكْبَرُ «تسعا»، الله أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.

الحَمْدُ للهِ الَّذِى خَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيْرًا، وَالْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا وَتَدْبِيْرًا، نَحْمَدُهُ بِجَمِيْعِ مَحَامِدِهِ حَمْدًا كَثِيْرًا، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةً أَدَّخِرُهَا لِيَوْمٍ كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، بَعَثَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ وَخَلِيْلِكَ مُحَمَّدٍ مَا تَعَاقَبَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، وَصَلِّ عَلَيْهِ مَا لاَحَتِ اْلأَنْوَارُ، وَغَرَّدَتِ اْلأَطْيَارُ، وَأَوْرَقَتِ اْلأَشْجَارُ، وَأَيْنَعَتِ الثِّمَارُ، وَلّبَّى الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ، وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.

أَمَّا بَعْدُ:

فَـ (ياأيها الناس التقوا ربكم إن زلزلة الساعة شيء عظيم )– الحج:١

اتَّقُوا اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى مَا هَدَاكُمْ لِلإِسْلاَمِ، وَأَوْلاَكُمْ مِنَ الْفَضْلِ وَالإِنْعَامِ، وَجَعَلَكُمْ مِنْ أُمَّةِ الْقُرْآنِ.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Ramadhan telah meninggalkan kita. Ada rasa haru dalam hati kita ketika meninggalkan Ramadhan yang penuh berkah. Kata pepatah, idza zuqta halawat al-washilah la ‘arafta murrat al-qathi’ah – jika engkau pernah merasakan nikmatnya bersatu, niscaya engkau akan merasakan pahitnya berpisah. Kita sedih ditinggalkan Ramadhan, dan kita berharap agar Allah panjangkan umur kita sampai Ramadhan yang akan datang, dalam keadaan yang lebih baik, sehat, dan penuh curahan rahmat Allah swt.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Hari ini kita basahi lidah kita dengan takbir, tahmid, dan tahlil. Kita gemakan kebesaran Allah swt ke segala penjuru angkasa dengan penuh sukacita – kadang dengan tetesan air mata – sebagai ekspresi rasa harap kita akan rahmat-Nya, sebagai ekspresi rasa takut kita akan azab-Nya, dan sebagai ekspresi rasa syukur kita atas nikmat-nikmat-Nya. Kita bersyukur bahwa Allah swt masih mempertemukan kita dengan Ramadhan dan merayakan Idul Fitri bersama-sama. Padahal, banyak saudara kita yang tidak bisa hadir di sini bersama kita, lantaran sakit, terhalang, atau karena telah mendahului kita.

Betapa indahnya kemanusiaan kita pada hari ini. Dengan lantunan takbir, tahmid, dan tahlil, dari lubuk hati yang terdalam kita sadari betul bahwa selama ini yang kita besarkan adalah bukan Allah. Yang kita besarkan selama ini adalah harta, kedudukan, popularitas, dan perkara keduniaan lainnya, sehingga membuat ruhani kita menjadi tumpul dan tidak berkembang.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Shalat Id yang baru saja kita lakukan merupakan simbolisasi dari kesuksesan kita menghidupkan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, pelajaran berharga dari Idul Fitri yang kita rayakan hari ini merupakan akumulasi dari dari pelajaran-pelajaran ibadah puasa, shalat, dan zakat kita di bulan Ramadhan. Selama 720 jam, Ramadhan sebagai suatu madrasah ruhaniah, spiritual training, telah menggembleng kita untuk memahami prinsip kesuksesan hidup yang hakiki dan cara meraih kesuksesan itu.

Apakah prinsip kesuksesan hakiki yang telah diberikan oleh Ramadhan kepada kita? Ada begitu banyak prinsip kesuksesan yang telah diajarkan oleh Ramadhan.

Di antaranya adalah:

Yang pertama, kita disebut sukses manakala kita bisa menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak Allah swt.

 Selama kita berpuasa, sejak Subuh hingga Maghrib, kita rela menahan lapar, haus, dan hal-hal lain yang mengurangi nilai ibadah puasa kita. Kita teguh memegang prinsip. Kita tidak berani melanggar pantangan puasa sampai datang waktu berbuka. Rasanya tidak ada waktu yang ditunggu-tunggu oleh orang yang berpuasa, kecuali datangnya waktu Maghrib. Kesuksesan orang yang berpuasa adalah di saat berbuka. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits qudsi, Allah swt berfirman,

للصائم فرحتان يفرحُهُما: إذا أفطر فرح بفطره، وإذا لقي ربه فرح بصومه

‘Buat orang yang berpuasa, ia memiliki dua kegembiraan. Pertama, ketika berbuka, ia gembira dengan saat berbukanya itu. Kedua, ketika ia berjumpa dengan Allah (nanti di hari Akhir) ia gembira dengan ganjaran puasanya’. (Hadits, muttafaq alayh)

Waktu berbuka, yaitu Maghrib dan Idul Fitri sebagai akhir puasa, adalah simbol datangnya kesuksesan jangka pendek, yaitu kesuksesan dunia. Sedangkan kesuksesan jangka panjang adalah di saat hari Akhir berjumpa dengan Allah, dan kita mendapatkan ganjaran masuk surga melalui pintu ar-Rayyan, yang tidak akan masuk surga melalui pintu itu kecuali buat orang-orang yang berpuasa.

Kesuksesan yang sejati adalah manakala kita bisa melakukan ketaatan kepada Allah. Hati kita akan merasa damai di saat kita melakukan ketaatan. Buat seorang muslim, sukses akan datang dengan sendirinya manakala ia sabar menjalani ketaatan itu, meskipun dihadapkan pada rintangan-rintangan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Ada sebuah kisah menarik tentang dampak ketaatan kepada Allah swt.

Salah seorang sahabat Rasulullah ada yang bernama Said al-Khudri. Suatu hari ia mendatangi Rasulullah, lalu berkata,

يا رسول الله، رأيت الليلة رؤيا عجيبة، رأيتنى أصلي خلف شجرة، وأقرأ القرآن فتخشع الشجرةُ لصلاتى حتى جاءت آيةُ سجدة – أي سجدة تلاوة – فسجدت، فرأيت الشجرةَ تسجد لسجودى، فسمعتها تقول وهي ساجدة: اللهم اغفر لى بها وزرا، واكتب لى بها أجرا، واجعلْها لى عندك لى ذخرا، وتقبّلْها منى كما تقبّلتها من عبدك داود عليه السلام.

‘Duhai Rasulullah, semalam aku bermimpi aneh. Aku melihat diriku shalat di belakang sebuah pohon. Lalu aku membaca al-Quran dalam shalatku dan pohon itu menjadi merunduk. Ketika aku sampai pada satu ayat sajdah, yaitu ayat sujud tilawah, maka aku pun melakukan sujud. Lalu, aku melihat pohon itu juga ikut bersujud lantaran sujudku. Ketika pohon itu bersujud, aku mendengar ia berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku dengan sebab sujudku ini. Tuliskan pahala bagiku dengan sebab sujudku ini. Jadikanlah sujudku ini sebagai tabungan akhiratku. Terimalah amalku ini sebagaimana Engkau telah menerima amal hamba-Mu Dawud alayhissalam’.

Begitu mimpi Said al-Khudry.

Subhanallah, sebuah pohon yang tumbuh di masa Rasulullah ternyata mengetahui ketaatan Nabi Dawud alayhissalam. Padahal, jarak antara Rasulullah dengan Nabi Dawud adalah ribuan tahun. Nabi Dawud memang seorang Nabi yang Allah berikan suara yang indah. Jika ia membaca kitab Zabur maka seluruh alam menjadi terpesona.

Begitulah, hadirin rahimakumullah, jika kita membiasakan diri untuk menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak Allah, melalui ketaatan kepada-Nya, maka nama kita akan harum sepanjang masa melintasi zaman dan alam, dikenang oleh makhluk Allah swt.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Yang kedua, kesuksesan tidak boleh membuat kita eforia, lupa diri, dan kebablasan.

Di saat kita menjalankan ibadah puasa, di saat rasa lapar dan haus mendera, rasanya terbersit hasrat dalam hati kita untuk memuaskan nafsu makan dan minum kita nanti di saat berbuka. Namun, di saat segala hidangan sudah dihamparkan dan datang waktu berbuka, seteguk minuman dan sesuap makanan sudah melenyapkan hasrat kita itu. Sebutir kurma sudah mengenyangkan perut kita. Seteguk dua teguk teh hangat-manis sudah menghangatkan tubuh kita. Kita pun menjadi kembali perkasa dan energik. Kita tidak punya hasrat lagi untuk menghabiskan segala hidangan yang tersedia, kecuali sekedar kebutuhan. Subhanallah… Itulah sunnatullah..

Hadirin rahimakumullah, itu artinya apa? Itu artinya bahwa ketika kita mendapatkan kesuksesan, kita tidak boleh eforia, tidak boleh lupa diri, dan tidak boleh kebablasan.

Riset ilmiah sudah membuktikan bahwa orang-orang sukses adalah orang-orang yang mampu menunda kesenangan sesaat untuk kesenangan yang lebih panjang. Orang yang memilih untuk menabung uang dibanding menghabiskan uangnya, maka ia akan kaya dalam jangka panjang. Bukankah ada pepatah yang mengatakan: Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya?

Dengan Ramadhan, Allah swt sengaja melatih kita untuk menunda kesenangan sesaat untuk kesenangan yang lebih abadi. Dan Rasulullah saw sudah mencontohkan hal itu kepada kita, umatnya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Ada kisah menarik, suatu hari Sayyiduna Umar bin Khattab r.a. datang ke rumah Rasulullah. Setelah Umar mengucapkan salam dan diizinkan masuk, ia melihat Rasulullah sedang berbaring di atas tikar kasar yang terbuat dari pelepah kurma, dan tikar itu menimbulkan bekas pada punggung Rasulullah. Melihat keadaan yang mengharukan itu, Umar bin Khattab menangis.

Lalu terjadilah dialog antara Rasulullah dengan Umar.

ما يبكيك، يا ابن الخطاب؟

يا نبي الله، ومالى لا أبكي، هذا الحصير قد أثّر فى جنبك، وهذه خزانتك لا أرى فيها إلا ما أرى، أنت نبي الله وصفةته، وذاك كسرى وقيصر على سرير الذهب وفرش الحرير.

فقال: أولئك عجلت لهم طيباتهم وهي وشيكة الإنقطاع، وإنا قوم أخرت لنا طيباتنا فى آخرتنا… ما مثلي ومثل الدنيا إلا كراكب سار فى يوم صائف فاستظل فى شجرة ساعة ثم راح وتركها.

 ‘Mengapa engkau menangis, wahai putra al-Khattab?’, tanya Rasulullah.

Umar menjawab, ‘Duhai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis. Tikar kasar ini sudah membuat punggungmu berbekas. Dan aku lihat hanya ini saja perabotan rumahmu. Padahal, engkau adalah Nabi Allah dan manusia pilihan-Nya. Sementara di sana, yang namanya Kisra dan Kaisar duduk bertatahkan permata, tidur berbantalkan sutra’.

Lalu Rasulullah berkata, ‘Orang-orang yang kau sebutkan barusan adalah mereka yang disegerakan kesenangannnya oleh Allah, padahal itu adalah kesenangan yang akan berakhir. Sementara kita adalah kaum yang Allah tunda kesenangannya untuk kesenangan akhirat kita. Perumpamaanku dengan dunia adalah seumpama seorang musafir yang berjalan di musim panas. Lalu ia berteduh di bawah sebuah pohon barang sejenak. Dia istirahat di bawahnya, lalu pergi meninggalkan pohon itu, melanjutkan perjalanannya’.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Seorang Muslim yang sukses, jika ia kaya, maka kekayaaannya tidak membuat ia lupa berzakat, bersedekah, dan berbagi dengan orang-orang yang nasibnya berada di bawahnya. Ia menjadi orang dermawan. Jika ia pengusaha atau pebisnis, maka bisnisnya tidak membuatnya lupa mengingat Allah. Ia menjadi pebisnis islami. Jika ia penguasa, maka kekuasannya tidak membuat ia bertindak zalim, sewenang-wenang, dan mengkhianati kekuasaannya di hadapan Allah dan masyarakat. Ia menjadi penguasa yang amanah.

Seorang Muslim yang sukses tidak bersikap eforia, lupa diri, dan kebablasan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Yang ketiga, sukses adalah manakala kita mampu bersikap jujur.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah swt berfirman,

كل عمل ابن آدم له إلا الصوم، فإنه لي وأنا أجزي به

‘Seluruh amal manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi ganjarannya’ (Hadits, muttafaq alayh)

Mengapa Allah mengkhususkan ibadah puasa untuk dirinya? Menurut Imam al-Qurthubi, itu karena dua alasan.

أحدها: أن الصوم يمنع من ملاذ النفس وشهواتها، ما لا يمنع منه سائر العبادات

الثانى: أن الصوم سرّ بين العبد وبين ربه، لا يظهر إلا له، فصار مختصا به، وما سواه من العبادات ظاهر قد يدخله الرياء.

Yang pertama, puasa mampu mencegah seseorang untuk memanjakan kesenangan diri dan hasratnya. Sementara ibadah-ibadah yang lain tidak seperti itu.

Yang kedua, puasa adalah rahasia seorang hamba dengan Tuhannya. Tidaklah ia berpuasa melainkan untuk-Nya. Oleh karena itulah, puasa menjadi istimewa dengan sebab ini. Sementara ibadah-ibadah lainnya dapat dengan mudah dimasuki oleh unsur riya’.

Puasa membuat kita jujur, karena kita merasa diawasi oleh Allah swt. Itulah yang disebut muraqabatullah. Orang lain bisa kita bohongi dengan puasa kita, namun Allah tidak. Dalam surat al-Hadid: 4, Allah swt berfirman,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ، وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Dia selalu bersamamu di manapun kamu berada, dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Ada sebuah kisah menarik. Suatu hari, Abdullah bin Umar (anaknya Umar bin Khattab) melakukan perjalanan. Di tengah perjalanan, ia melihat seorang penggembala ternak. Maka terjadilah dialog di antara mereka.

قال أبن عمر: تبيع من هذه الغنم واحدة؟

قال الغلام: إنها ليست لي

فقال: قل لصاحبها أن الذئب أخذ منها واحدة

قال الغلام: إذن، فأين الله؟

Ibnu Umar berkata, ‘Maukah engkau menjual satu kambing saja?’

Penggembala itu menjawab, ‘Kambing-kambing ini bukan milikku’

Ibnu Umar berkata, ‘Katakan saja kepada pemiliknya bahwa satu ekor sudah dimakan serigala’.

Penggembala itu menjawab, ‘Kalau begitu, di manakah Allah?’

Mendengar jawaban penggembala kambing itu, Abdullah bin Umar menjadi kagum. Sepanjang perjalanan ia mengulang-ulang ucapan, ‘Lalu dimanakah Allah?’

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Itulah potret muslim yang jujur. Ia sadar bahwa Allah selalu melihat apa yang ia lakukan. Dalam jangka panjang, orang jujur akan mendapatkan kesuksesan. Tidakkah terbayang dalam ingatan kita, bahwa Rasulullah saw, sebelum diangkat menjadi Rasul, sudah terkenal dengan kejujurannya? Jauh sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, masyarakat sudah menyebutnya sebagai al-Amin (orang yang dapat dipercaya).

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd

Saudaraku, kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt.

Pada dasarnya kita cinta dengan kebenaran, kebaikan, ketaatan, dan keluhuran. Itulah fitrah kita yang suci. Fitrah itulah yang perlu kita recharge (isi kembali) dalam ibadah puasa, agar kita memiliki energi tambahan untuk mendapatkan kesuksesan dunia dan akhirat.

Semoga Allah swt menerima amal puasa kita dan amal-amal lain yang kita lakukan dalam bulan Ramadhan, sehingga kita termasuk hamba-Nya yang kembali kepada kesucian fitrah kita, yaitu kembali kepada Allah, dan berhasil memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu.

 …إن أحسن الكلام وأبين النظام كلام الله الملك المنان.. بارك الله لي ولكم فى القرأن العظيم

Khutbah Kedua

الخطبة الثانية

اللهُ أَكْبَرُ «سبعا»، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.

الْحَمْدُ للهِ الْحَكِيْمِ الْعَلِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صّلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ، صَلاَةً وَسَلاَمًا كَامِلَيْنِ مُتَلاَزِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

أمّا بعد:

فَيَا عِبَادَ اللهِ،  (فاتقوا الله ما استطعتم – التغابون ١٦)

اتَّقُوا اللهَ رَبَّكُمْ، وَاعْبُدُوْهُ وَأَطِيْعُوْهُ وَوَحِّدُوْهُ، فَلاَ إِلَهَ غَيْرُهُ، إِنْ أَرَضْتُمْ دُخُوْلَ الْجِنَانِ، وَرُمْتُمْ رِضَى الرَّحْمَنِ، وَطَلَبْتُمُ السَّلاَمَةَ مِنَ النِّيْرَانِ، فَعَلَيْكُمْ بِتَوْحِيْدِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَسَلاَمَةِ الْعَقِيْدَةِ مِنَ اْلأَدْرَانِ، وَتَحْقِيْقِ الْعُبُوْدِيَّةِ وَاْلإِيْمَانِ.

 أَلاَ وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا – رَحِمَكُمُ اللهُ – عَلَى الْهَادِى الْبَشِيْرِ، وَالسِّرَاجِ الْمُنِيْرِ، كَماَ أَمَرَكُمْ بِذَلِكَ الْمَوْلَى اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ، فَقَالَ تَعَالَى قَوْلاً كَرِيْمًا: (إن الله وملائكته يصلون على النبي، يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما – الأحزاب ٥٦)

 اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِ قُلُوْبِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ: أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الْفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِى النُّوْرَيْنِ، وَعَلِيٍّ أَبِى السِّبْطَيْنِ، وَعَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ عِيْدَنَا سَعِيْدًا، وَعَمَلَنَا صَالِحًا رَشِيْدًا،اللَّهُمَّ كَمَا جَمَعْتَنَا فِى هَذَا الْمَكَانِ فَاجْمَعْ قُلُوْبَنَا عَلَى كِتَابِكَ وَسُنَّةِ نَبِيِّكَ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ وَالْفِتَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ.

Ya Allah, ya Tuhan kami, jadikanlah hari Raya kami ini sebagai hari kebahagiaan. Jadikan amal-amal kami sebagai sebagai amal shalih yang mencerahkan hidup kami. Ya Allah, sebagaimana Engkau telah kumpulkan kami di tempat ini, maka rekatkan pula hati kami untuk bersedia mengikuti tuntunan yang Engkau tunjukkan dalam Kitab-Mu dan sunnah Rasul-Mu. Satukan hati kami, perbaiki persoalan-persoalan yang terjadi di depan kami, tuntun kami menuju jalan keselamatan, jauhkan kami dari keburukan dan marabahaya, baik yang sedang terjadi di depan mata atau yang masih tersembunyi dari penglihatan kami.

 اللَّهُمَّ وَفِّقْ إِمَامَنَا بِتَوْفِيْقِكَ، وَوَفِّقْهُمْ إِلَى مَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، وَخُذْ بِنَاصِيَتِهِمْ إِلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى، وَإِلَى مَا فِيْهِ إِعْلاَءُ كَلِمَتِكَ، وَإِعْزَازُ دِيْنِكَ، وَصَلاَحُ الْبِلاَدِ وَالْعِبَادِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

Ya Allah, ya Tuhan kami,

Berikan petunjuk-Mu kepada pemimpin-pemimpin kami.  Tuntun mereka dalam membuat kebijakan publik yang selaras dengan aturan-Mu. Ya Allah, pegang ubun-ubun mereka untuk selalu berada di jalan kebenaran dan ketakwaan, untuk bersemangat meninggikan kalimat-Mu dan kejayaan agama-Mu, dan berkomitmen untuk memperbaiki keadaan bangsa dan masyarakat.

اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.

Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang zalim dan kafir.

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْمَيِّتِيْنَ، اللَّهُمَّ لاَ تَرُدَّناَ خَائِبِيْنَ، وَلاَ عَنْ بَابِكَ مَطْرُوْدِيْنَ، وَلاَ مِنْ رَحْمَتِكَ مَحْرُوْمِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.

Ya, Allah, dengan rahmat-Mu

Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Mengetahui. Ampuni kami, orangtua kami, dan saudara-saudara kami kaum muslimin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, karena Engkau yang Maha Pengampun dan Penyayang. Ya Allah, jangan Kau kecewakan kami, jangan Kau tolak kami dari pintu-Mu, dan jangan jadikan kami terhalang mendapatkan kasih sayang-Mu.

عباد الله، إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفخشاء والمنكر والبغي، يعظكم لعلكم تذكرون، فاذكروا الله يذكركم، ولذكر الله أكبر، والله يعلم ما تصنعون

Untung Ada al-Ghazali

29 Des

Para pencari ilmu akan kenal dengan Imam al-Ghazali, sang Hujjatul Islam. Karya-karya al-Ghazali begitu bermanfaat buat orang banyak. Tidak terhitung para ulama dan akademisi yang mendalami karya-karyanya. Orang yang mengaku cinta ilmu, namun ia tidak pernah membaca apalagi mendengar nama kitab Ihya Ulumuddin, karya fenomenalnya, maka pengakuannya tertolak dan keilmuannya perlu diragukan. Kitab Ihya memang tidak pantas dilewatkan oleh para pencari ilmu. Meskipun al-Hafizh al-Iraqi melakukan ta‘liq terhadap hadits-hadits yang ada dalam Ihya dan ditemukan ada yang bermasalah, namun hal itu tidak mengurangi ketinggian karya al-Ghazali ini. Betapa banyak para ulama besar yang di dalam karya-karyanya masih memuat hadits-hadits bermasalah. Sebut saja, misalnya, Ibnu al-Jawzi al-Baghdadi, alim besar bermazhab Hanbali yang memiliki banyak karya penting dalam khazanah keilmuan Islam, masih memuat hadits-hadits yang tidak ditemukan dasarnya, dalam karyanya Bustan al-Wa’izhin.

Di antara karya al-Ghazali yang layak dibaca adalah kitab al-Arbain fi Ushuluddin. Kitab ini dibagi dalam empat kategori. Kategori pertama membahas pokok-pokok akidah. Kategori kedua membahas amalan-amalan lahiriah dan peribadatan. Kategori ketiga membahas penyucian hati dari akhlak-akhlak tercela dan cara menyucikannya. Kategori keempat membahas cara menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia. Inilah kitab yang diwasiatkan para ulama salaf untuk dibaca dan dipesankan para ulama khalaf untuk dipelajari.

Saya tersenyum ketika membaca pembahasan tentang kelompok orang-orang yang melakukan riya dalam kitab itu. Saya tersenyum karena saya termasuk di dalamnya dan kena smash dari al-Ghazali. Dan, saya tidak tahu apakah orang lain akan tersenyum juga ketika membacanya.

Nah, kali ini saya akan posting tulisan al-Ghazali yang ada dalam kitab itu. Insya Allah, terjemahan saya tidak begitu meleset dari bahasa aslinya. Saya berharap Anda tidak tersenyum ketika membacanya, apalagi merasa kena smash dari al-Ghazali.

Menurut al-Ghazali, hakikat riya adalah mencari ‘posisi’ dalam hati manusia melalui amalan ibadah dan amalan kebajikan (thalab al-manzilah fi qulub al-nas bil ibadat wa a‘mal al-khayr).

Lalu al-Ghazali membagi pelaku riya menjadi 6 kelompok, dilihat dari beberapa segi.

Pertama, riya dari segi fisik (ar-riya’ min jihat al-badan), tandanya yaitu menampakkan wajah pucat agar disangka sedang berpuasa, atau menunjukkan kesedihan agar disangka peduli dengan urusan agama, atau menampakkan rambut yang kusut agar disangka tenggelam dengan urusan agama dan tidak memikirkan dirinya sendiri, atau menampakkan mulut yang bau agar disangka sedang berpuasa, atau merendahkan suara agar disangka sedang serius ber-mujahadah.

Kedua, riya dari segi gaya (ar-riya’ bil hay’ah), tandanya yaitu seperti memendekkan kumis, menundukkan kepala ketika berjalan, menampakkan ketenangan ketika berjalan, meninggalkan bekas sujud di wajah (maksudnya: tanda hitam di jidat), memejamkan mata agar disangka sedang terkena tarikan ruhani (al-wajd) dan penampakan ruhani (mukasyafah) atau sedang tenggelam memikirkan sesuatu persoalan (gha’ish fil fikr).

Ketiga, riya dari segi pakaian (ar-riya’ fi al-tsiyab), tandanya yaitu seperti memakai pakaian ala sufi, pakaian kasar, memendekkan pakaian sampai setengah betis, membiarkan pakaian terlihat compang-camping dan kumal, semuanya itu agar disangka ia tidak punya waktu untuk mengurusi yang demikian. Tanda lainnya shalat di atas sajadah agar disangka seorang sufi, padahal ia tidak tahu siapa hakikat sufi yang sebenarnya. Tanda lainnya adalah memakai jubah, seledang, dan melebarkan lengan baju, agar disangka ia orang alim. Tanda lainnya adalah memakai kaos tangan/kaki agar disangka ia orang yang hidup sederhana karena begitu hati-hatinya dengan debu jalanan.

Keempat, riya dari segi perkataan (ar-riya’ bil qawl), tandanya yaitu seperti seorang pemberi nasihat dan peringatan yang membagus-baguskan perkataannya dan mengungkapkannya dengan kalimat puitis, atau berbicara dengan ungkapan-ungkapan hikmah dan ucapan para salaf sambil melembutkan suara dan menampakkan kepiluan, padahal batinnya kosong dari ketulusan dan keikhlasan, namun ia melakukan semua itu agar disangka begitu. Orang seperti ini juga menampakkan kesedihan di tengah orang banyak, namun ketika sendiri ia bermaksiat kepada Allah. Tanda lainnya seperti orang yang mengklaim hapal hadits dan bertemu dengan banyak guru, dan ia dengan mudah mengatakan bahwa hadits ini shahih, hadits itu cacat, agar ia disangka pakar dalam soal ilmu hadits. Tanda lainnya adalah seperti orang yang menggerak-gerakan bibir dengan zikir dan melakukan amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat, padahal hatinya tidak merasa sakit ketika melakukan maksiat. Tanda lainnya adalah seperti orang yang menampakkan rasa marah dengan kemaksiatan yang terjadi, namun ketika ia melakukan maksiat, hatinya tidak merasakan pedih.

Kelima, riya dari segi perbuatan (ar-riya’ bil amal), tandanya yaitu seperti melamakan berdiri ketika shalat, membagus-baguskan ruku‘ dan sujud, menundukkan kepala, tidak banyak bergerak, gemar bersedekah, berpuasa, berhaji, pelan dalam berjalan, mengendurkan kelopak mata, padahal Allah swt tahu seandainya ia dalam kesendirian, ia tidak akan melakukan semua itu. Bahkan, ia akan malas-malasan ketika shalat, cepat-cepat ketika berjalan, namun ketika muncul orang lain, ia kembali bersikap tenang, agar disangka khusyu‘.

Keenam, riya dari segi memperbanyak murid dan sahabat dan memperbanyak menyebut nama para guru (ar-riya’ bi katsrat al-talamidzat wal ashhab wa katsrat dzikr al-syuyukh), agar disangka ia banyak bertemu dengan para guru, atau seperti orang yang senang didatangi para ulama dan penguasa, agar disangka sebagai orang yang diminta keberkahannya.

Semua tanda yang disebutkan di atas adalah yang menyangkut urusan agama. Hukum semuanya adalah haram, bahkan termasuk dosa besar. Namun, jika mencari ‘posisi’ di hati orang lain dengan perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk ibadat dan amalan-amalan agama, maka hal itu tidaklah haram, sepanjang di dalamnya tidak ada talbis (campur aduk), sebagaimana telah aku nyatakan dalam pembahasan tentang ‘Mencari Kedudukan’ (thalab al-jah). Para ahli dunia mencari kedudukan dengan memperbanyak harta dan anak, membaguskan pakaian kebanggaan, menghapal syair, ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu nahwu dan bahasa, dan lain sebagainya. Yang demikian itu tidaklah haram sepanjang tidak berhenti (dimaksudkan) untuk menyakiti orang lain, menunjukkan kesombongan, dan menunjukkan akhlak tercela lainnya.

Itulah kata al-Ghazali. Saya tidak tahu apakah Anda ikut tersenyum atau malah tersindir ketika membacanya. Namun, janganlah kesal dengan apa yang dikatakan al-Ghazali. Menolak nasihat yang baik adalah tanda hati yang kusam. Lebih baik tersenyumlah, karena apa yang dikatakan al-Ghazali adalah obat bagi sakitnya hati kita dan air dingin bagi gersangnya kalbu kita.

Selain tersenyum, kita patut berterimakasih dengan al-Ghazali, karena kita beruntung masih diingatkan.

Ingatkanlah orang lain, karena pengingatan itu bermanfaat buat orang-orang beriman. (al-Quran, surat adz-Dzariyat/51:55)

 

 

Mengapa Kita Perlu Berpuasa?

11 Agu

Alhamdulillah, Allah swt. telah mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan tahun ini, bulan berkah yang penuh rahmat dan ampunan. 

Selama hidupnya, Rasulullah saw. hanya berpuasa Ramadhan sebanyak 9 kali. Bisa jadi, puasa Ramadhan kita lebih banyak dari puasa Rasulullah. Nah, sampai sejauh ini, pernahkah kita bertanya: buat apa sih kita berpuasa? Mumpung kita masih berada pada hari pertama puasa, tidak ada salahnya kita bertanya seperti itu.

Banyak alasan mengapa kita perlu berpuasa. Beberapa di antara alasan itu adalah sebagai berikut.

Pertama, sebagai bentuk self-assesment (penilaian sendiri) apakah kita termasuk orang beriman atau tidak. Perhatikan, dalam surat al-Baqarah ayat 183, perintah puasa dimulai dengan lafaz iman, yaitu Ya ayyuhalladzina amanu – wahai orang beriman. Hal ini untuk membangkitkan rasa keimanan yang berada di dalam hati kaum muslim. Jika rasa iman bersarang dalam hati kita, maka seruan Allah itu akan terasa manis. Jika sebaliknya, maka puasa terasa berat.

Adalah para sahabat Rasulullah yang jika dibacakan kepada mereka ayat yang dimulai dengan lafaz Ya ayyuhalladzina amanu, maka mereka akan pasang kuping. Mengapa? Karena setelah seruan itu, pasti ada sesuatu hal penting yang perlu diperhatikan.

Nah, ayat puasa juga seperti itu. Jadi, tidak perlu heran dengan orang-orang yang tanpa malu makan/minum seenaknya di depan umum pada bulan Ramadhan. Kalaupun ada kaum muslim yang tidak berpuasa karena alasan yang dibenarkan (seperti sakit, haid, sudah tua) maka mereka hendaknya tidak melakukannya secara demonstratif. Hormatilah bulan Ramadhan, yang merupakan salah satu syi‘ar Allah. Orang yang menghormati syi‘ar Allah, tanda hatinya masih menyimpan benih ketakwaan (lihat al-Quran surat al-Hajj ayat 32) 

Beruntunglah orang yang menyambut seruan Allah itu dengan sukacita. Itu tanda keimanan masih bersarang di dalam hati.

Kedua, puasa Ramadhan menanamkan harga diri kita bahwa kita, kaum Muslim, adalah umat yang paling konsisten menjaga kontinuitas ajaran-ajaran agama langit. Perhatikan, firman Allah, ‘Telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pula kepada generasi terdahulu’ (al-Baqarah ayat 183).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa ibadah puasa bukanlah ibadah baru, yang hanya dikhususkan untuk umat muslim. Umat-umat Nabi terdahulu juga dibebani perintah berpuasa. Begitu pula, umat Yahudi dan umat Nashrani, juga dibebani perintah berpuasa. Namun, apakah dua umat ini konsisten menjalankan perintah puasa? 

Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah, bahwa ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum Yahudi dan Nashrani. Namun, kaum Yahudi meninggalkan puasa di bulan ini. Mereka hanya berpuasa satu hari dalam satu tahun, yaitu pada hari Firaun tenggelam dan Bani Israil selamat. Adapun kaum Nashrani juga melakukan puasa Ramadhan. Namun, pada saat itu udaranya sangat panas, sehingga mereka mengalihkan puasa Ramadhan itu di bulan lain, yaitu di bulan Rabi‘ (musim semi). Lalu para rahib mereka mengeluarkan fatwa, ‘Kita perlu menambahkan puasa 20 hari lagi, sebagai tebusan terhadap perbuatan kita ini’. Maka, mereka berpuasa selama 50 hari. Inilah yang dimaksudkan Allah swt, ‘Mereka menjadikan cendekiawan dan para rahib mereka sebagai tuhan tandingan bagi Allah’ (surat at-Tawbah ayat 31)

Bagaimana dengan kita kaum Muslim? Kita hanya berpuasa satu bulan. Tidak lebih. Maksimal 30 hari, dan minimal 29 hari.  Umat Muslim tidak pernah mengganti puasa Ramadhan (apakah bersamaan dengan musim panas, semi atau penghujan) pada bulan-bulan lainnya. Itu artinya kita adalah umat yang konsisten menjalankan perintah puasa Ramadhan.

Ketiga, kita perlu berpuasa untuk mengingatkan akan nikmat terbesar dalam hidup kita, yaitu nikmat turunnya al-Quran, yang membawa prinsip-prinsip kebahagiaan hidup. Atas dasar itulah, Allah berfirman, ‘Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran, yang berfungsi sebagai petunjuk-hidup (hudan) bagi manusia dan penjelasan (bayyinat) terhadap petunjuk-hidup itu, dan juga sebagai pembeda (furqan) antara yang benar dan yang salah’ (al-Baqarah ayat 185)

Sesungguhnya, tidak ada buku yang begitu mencerahkan dan praktis untuk kita amalkan, kecuali al-Quran. Begitu hebatnya al-Quran, maka tidak heran selalu saja ada orang-orang yang membuat al-Quran palsu. Namun, keaslian al-Quran akan terjaga sampai hari Kiamat, karena itu adalah janji Allah swt. Meskipun demikian, kaum Muslim tetap perlu mempelajari al-Quran dengan baik. Kata Rasulullah saw., ‘Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suat kaum dengan al-Quran dan menjatuhkan derajat kaum yang lain juga dengan al-Quran’. 

Keempat, kita perlu berpuasa agar kita tidak memperturutkan ambisi perut dan kemaluan kita. Sesungguhnya, semua kerusakan di dunia sebagian besar karena dua ambisi itu.

Imam al-Ghazali rahimahullah berkata, ‘Ketahuilah, sesungguhnya pangkal segala kerusakan bersumber dari syahwat perut. Dari syahwat perut, muncul syahwat seks. Karena syahwat perut, Adam keluar dari surga. Karena syahwat perut, orang berlomba-lomba mengejar dunia secara berlebihan’.

Apakah ada hubungan antara perilaku konsumtif dengan syahwat perut? Apakah ada hubungan antara korupsi dengan syahwat perut? Apakah ada hubungan antara perilaku free sex dengan syahwat kemaluan?

Jawabannya kita sudah tahu. 

Nabi Yusuf alayhissalam adalah public figure yang senang berpuasa, padahal ia berada di puncak kekuasaan. Karena kebiasaannya ini, banyak orang bertanya, ‘Mengapa Anda masih senang berpuasa, padahal Anda adalah orang yang menguasai perbendaharaan negara?’ Yusuf menjawab, ‘Jika aku kenyang, aku takut menjadi lupa dengan orang-orang lapar’.

Subhanallah… Andai saja para pemimpin kita, mulai dari level lingkungan sampai level kenegaraan, mau mencontoh perilaku Yusuf alayhissalam, maka betapa harmonisnya hidup manusia. 

Nah, puasa mengajarkan kita untuk menyeimbangkan dua syahwat itu: syahwat perut dan syahwat seks.

Kelima, puasa mengajak kita untuk memberikan waktu barang sejenak untuk membersihkan kotoran-kotoran ruhani kita. Siapakah manusia yang tidak pernah salah?

Ramadhan adalah training massal yang mencuci kotoran-kotoran yang menempel di dinding hati kita. Ramadhan memberi kesempatan kepada kita untuk mendekatkan diri kepada Allah, curhat kepada-Nya, dan memohon rahmat dan ampunan dari-Nya. Ramadhan adalah ghayts al-qulub – rintik hujan yang membasahi keringnya hati.

Mudah-mudahan Ramadhan kali ini menjadi salah satu Ramadhan terbaik kita. Amin.