Arsip | Mei, 2010

Berhaji dengan Harta Haram

25 Mei

Haji adalah ibadah yang ‘istimewa’. Salah satu keistimewaannya — dibanding shalat, zakat, dan puasa — adalah bahwa perintah haji selalu digandengkan dengan redaksi semata-mata untuk Allah. Perhatikan firman-firman Allah swt. berikut.

 ‘Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah semata-mata untuk Allah…’ (Q.s. al-Baqarah/2: 196)

‘… bagi manusia diwajibkan melaksanakan haji semata-mata untuk Allah, yaitu bagi mereka yang memiliki kemampuan melakukan perjalanan ke Baytullah…’ (Q.s. Ali Imran/2: 97)

Dengan demikian, ibadah haji harus dilakukan dengan segala sesuatu yang diridhai Allah swt., mulai dari niatnya, ongkos perjalanannya, sampai prosesnya pelaksanaannya.

Rasulullah saw. pernah bersabda,

‘Sesungguhnya Allah itu baik, dan Ia tidak menerima sesuatu kecuali yang baik-baik saja’. (Hadits, riwayat Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad)

Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menceritakan peristiwa menarik tentang sikap masyarakat Quraisy terhadap Ka’bah. Saat itu, kondisi Ka‘bah mulai rapuh, sehingga perlu diperbaiki. Masyarakat Quraisy melakukan rapat. Dalam rapat itu, salah seorang dari mereka mengingatkan,

‘Wahai masyarakat Quraisy, janganlah kalian masukkan anggaran biaya pembangunannya dari hasil usaha kalian, kecuali dari sumber yang baik-baik saja. Jangan pula dari hasil merampok, jual beli riba, atau dari hasil menzalimi orang lain!’.

Masya Allah! Jika orang kafir Quraisy saja tidak ingin membangun Ka‘bah dengan harta yang haram, apalagi kita kaum Muslim, yang percaya dengan Allah swt. Kita tentu lebih pantas memuliakan Ka‘bah melebihi mereka.

Oleh karena itu, berdasarkan petunjuk Allah swt. dan Rasul-Nya, berhaji dengan harta haram tidak dibolehkan. Larangan ini juga berlaku untuk ibadah umrah.

Inikah Mati yang Indah?

20 Mei

Saya membaca kitab Malak al-Mawt wa al-Anbiya’, yang ditulis oleh Syaikh Musthafa Murad. Di dalamnya berisi tentang bagaimana malak al-mawt (malaikat pencabut nyawa) mencabut nyawa manusia, disertai contoh-contoh nyata dari para Nabi dan orang-orang shalih. Bahkan di dalamnya diceritakan orang-orang yang meninggal dunia secara husnul khatimah atau su’ul khatimah.

Saya akan ceritakan salah satunya.

Di Mesir, ada seorang pemuda yang tugas sehari-hari mengumandangkan azan dan menjadi imam shalat di masjid. Dari wajahnya terlihat kewibawaan dan cahaya ketaatan. Suatu hari, sebagaimana biasanya, ia naik ke atas menara untuk mengumandangkan azan. Persis di bawah menara, ada rumah keluarga Nashrani. Ketika ia sampai di atas menara, ia melihat anak perempuan keluarga Nashrani. Pemuda tersebut tergoda. Ia tidak jadi mengumandangkan azan. Ia turun dari menara dan masuk ke rumah tersebut.

Ketika pemuda itu masuk, sang perempuan bertanya, ‘Ada apa gerangan denganmu? Mau apa kamu?’

Pemuda tersebut menjawab, ‘Aku menginginkanmu’.

Perempuan itu bertanya, ‘Mengapa bisa begitu?’.

Pemuda itu menjawab, ‘Kamu sudah merobek-robek hatiku dan mengambil seluruh isi hatiku’.

Perempuan itu berkata, ‘Aku tidak mau menimpali sesuatu yang belum jelas’.

Pemuda itu terus merayu, ‘Aku akan mengawinimu’.

Perempuan itu berkata, ‘Kamu seorang Muslim, sedangkan aku Nashrani. Ayahku tidak akan mengawinkan aku denganmu’.

Pemuda itu berkata, ‘Aku akan masuk Nashrani’.

Perempuan itu berkata, ‘Kalau memang begitu, baru aku mau kawin denganmu’.

Maka pemuda itu masuk Nashrani, kemudian ia tinggal bersama dalam rumah itu. Suatu hari, ia naik ke atas rumah tersebut, tiba-tiba ia terjatuh. Ia meninggal seketika. Ia meninggal dalam keadaan tidak beragama.

Begitulah ceritanya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi dengan kita dan anak-keturunan kita.

Allahumma inna na’udzu bika min su’il khatimah. Amin…

Sorban dan Keledai: Apa Kata Dunia?

18 Mei

Seorang wanita yang buta huruf memegang surat. Namun, ia tidak bisa membaca. Oleh karena itu, ia berdiri di pinggir jalan untuk menemukan orang yang bisa membacakan surat itu untuknya. Tak lama kemudian, datanglah seorang laki-laki yang memakai ‘imamah (sorban yang melilit di kepala), sambil menaiki himar (keledai). Lalu, wanita itu mencegat laki-laki itu dan memintanya untuk membacakan surat tersebut. Tapi, laki-laki itu berkata, ‘Maaf, saya tidak bisa membaca’.

Wanita itu terkejut, lalu ia berkata, ‘Hahhh? Pakai sorban tapi tidak bisa membaca? Apa kata dunia?’

Mendengar itu, laki-laki tersebut langsung mencopot sorbannya dan meletakkannya di kepala keledainya. Lalu ia berkata, ‘Wahai keledai, silakan baca surat itu’.

Keberkahan Sahur dan Misteri Waktu Sahur

17 Mei

Sahur disebut sahur karena dilakukan di waktu sahar, yaitu waktu menjelang Shubuh. Ada apa dengan sahur dan waktu sahar ini?

Menurut Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah saw. pernah bersabda,

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السَّحُوْرِ بَرَكَةً.

‘Lakukan sahur, karena di dalam sahur terdapat keberkahan’ (Hadits, riwayat Bukhari nomor 1923 dan Muslim nomor 1095)

Menurut Imam Ibnu Daqiq al-Id, ulama Sunni bermazhab Syafii, dalam kitab Ihkam al-Ahkam fi Syarh Umdat al-Ahkam, ‘Hadits ini menjadi dalil (dasar) dianjurkannya melakukan sahur buat orang yang berpuasa. Sebabnya adalah karena di dalam sahur ada keberkahan. Keberkahan yang dimaksud dalam hadits ini bisa berupa perkara ukhrawi, yaitu sebagai bentuk melaksanakan sunnah Rasulullah, sehingga pelakunya dipastikan mendapatkan ganjaran dan bonus dari melaksanakan sahur. Keberkahan tersebut juga bisa menyangkut persoalan duniawi, yaitu menguatkan fisik orang yang berpuasa dan memudahkannya menjalankan ibadah puasa

‘Kata sahur dalam hadits di atas, bisa dibaca dengan sahur (sin-nya di-fathah-kan) atau suhur (sin-nya di-dhammah-kan). Jika dibaca sahur, maka itu artinya ‘apa yang dijadikan sahur’ (maksudnya: makanan dan minuman). Jika dibaca suhur, maka itu artinya ‘perbuatannya’. Nah, keberkahan yang dimaksud dalam hadits tersebut mencakup dua arti ini: makanan/minumannya dan perbuatannya’.

‘Selain itu juga, sebab dianjurkannnya sahur adalah untuk membedakan diri dengan kebiasaan ahlul kitab yang tidak melakukan sahur’.

Begitu komentar Imam Ibnu Daqiq al-Id.

Bahkan, tentang keutamaan sahur, Rasulullah saw. juga pernah bersabda,

اَلسَّحُوْرُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَةُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْن.

‘Sahur itu seluruhnya membawa keberkahan. Oleh karena itu, janganlah kalian tinggalkan, meskipun kalian hanya meminum seteguk air. Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya ber-shalawat (berdoa) untuk orang-orang yang melakukan sahur’ (Hadits, riwayat Ahmad).

Selain apa yang dikatakan Iman Ibnu Daqiq al-Id, keberkahan sahur juga membuat orang yang berpuasa bisa bangun di akhir malam, lalu ia berzikir, ber-istighfar, kemudian melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Perhatikan, mengapa pada bulan Ramadhan jamaah shalat Shubuh di masjid meningkat? Ini tidak lain adalah karena keberkahan sahur, yang tidak ditemui pada selain bulan Ramadhan.

Waktu sahur memang memiliki misteri tersendiri. Menurut Allah swt., di antara ciri-ciri orang bertakwa adalah banyak beristighfar, lebih-lebih di waktu sahar (waktu menjelang Shubuh).

Allah swt. berfirman,

‘(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang ber-istighfar di waktu sahur’. (Q.s. Alu Imran/3: 17)

Allah swt. mengistimewakan waktu sahur sebagai waktu yang tepat untuk ber-istighfar karena berdoa di waktu itu lebih dekat untuk dikabulkan, beribadah di waktu itu lebih menggelora, jiwa lebih bening, dan hati lebih menyatu. Demikian yang dikatakan oleh pakar tafsir, Syihabuddin al-Alusi, dalam kitab tafsir Ruh al-Ma’ani. Ibnu Katsir dalamTafsir-nya mengutip sebuah riwayat, bahwa ketika Nabi Ya’qub alayhissalam berkata kepada anak-anaknya ‘Aku akan memintakan ampun untuk kalian kepada Tuhanku’, maka beliau menundanya sampai datang waktu sahur.

Rasulullah saw. bersabda,

‘Setiap malam Allah turun ke langit dunia sampai tersisa sepertiga malam yang akhir. Ia pun berkata, ‘Adakah hamba-Ku yang meminta sehingga pasti Aku berikan apa yang ia minta? Adakah hamba-Ku yang berdoa sehingga pasti Aku kabulkan doanya? Adakah hamba-Ku yang ber-istighfar sehingga Aku ampuni dosanya?’ (Hadits, riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Saudaraku, akankah kita ganti waktu sahur yang penuh keberkahan dengan menonton tayangan televisi yang bermuatan komedi, kuis, atau tayangan-tayangan yang tidak mendidik lainnya?

Aku Tidak Bilang Tiga-tiga, kan?

14 Mei

Di suatu malam yang gelap, dua orang sahabat sedang duduk bersama sambil memakan kurma. Salah satu di antara mereka adalah buta. Lalu si buta berkata, ‘Aku ini buta, tidak bisa melihat. Mudah-mudahan Allah melaknat orang yang makan kurma sekaligus dua-dua’. Sambil mengobrol ngalor-ngidul, mereka menghabiskan kurma. Sehabis mereka mengunyah kurma, maka bijinya diletakkan di dekat kaki mereka.

Ketika selesai makan, ternyata biji kurma yang berada di bawah kaki orang buta itu lebih banyak dari biji kurma yang ada pada temannya. Lalu, temannya berkata, ‘Mengapa biji kurmamu lebih banyak dari biji kurmaku?’

Si buta menjawab, ‘Karena tadi aku makan sekaligus tiga-tiga’.

Temannya berkata lagi, ‘Lho bukankah tadi engkau bilang: semoga Allah melaknat orang yang makan dua-dua?’

Si buta menjawab, ‘Benar. Tapi aku tidak mengatakan tiga-tiga, kan?’

Gara-gara Ayam Bakar

14 Mei

Ini hanyalah catatan iseng-iseng. Isinya juga sepele dan kurang greget untuk dibaca. Namun, bukankah kita seringkali jatuh terjerembab karena persoalan sepele? Bukankah kita lebih sering tersandung batu kecil ketimbang batu besar?

Ibnu Khallikan dalam Tarikh-nya, sebagaimana dikutip juga oleh ad-Damiri dalam Hayat al-Hayawan, menceritakan tentang seorang laki-laki yang sedang menikmati makan siangnya. Hari itu menu makannya adalah ayam bakar (dajajah masywiyyah). Ketika ia sedang menyantap makanannya, datanglah seorang pengemis. Merasa diganggu makan siangnya, laki-laki itu mengusirnya, karena laki-laki itu begitu berhasrat dengan ayam bakar itu.

Entah mengapa, tak lama kemudian ia bercerai dengan istrinya. Bukan hanya itu, hartanya juga ikut habis.

Lalu mantan istrinya menikah lagi dengan laki-laki lain. Suatu hari, suami wanita ini (yang kedua) sedang menikmati makan siang. Di hadapannya tersedia ayam bakar. Saat itu, datanglah seorang pengemis mengetuk pintu rumahnya. Sang suami berkata kepada istrinya, ‘Berikan ia ayam bakar ini’. Maka, istrinya membawakan ayam bakar itu kepada pengemis. Setelah diperhatikan, ternyata pengemis itu adalah mantan suaminya dulu (yang pertama). Setelah wanita itu memberikan ayam bakar kepada pengemis, ia masuk ke dalam dan menceritakan hal ihwal pengemis itu kepada suaminya (yang kedua).

Pengemis itu berkata kepada mereka, ‘Demi Allah, sekarang aku orang miskin. Allah telah mencabut nikmat-Nya dariku dan membelenggu diriku dengan kemiskinan, lantaran sedikit syukurku atas nikmat-nikmat-Nya’.

Begitulah.

Saudaraku, jangan tangisi yang hilang dan jangan panjang angan-angan. Syukurilah yang ada, niscaya Anda akan menjadi orang yang kaya. Jangan biarkan diri Anda menjadi pengemis di kemudian hari.

Benarlah kata Allah, ‘Barangsiapa yang bersyukur kepada-Ku, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku kepadanya. Sebaliknya, siapa yang tidak bersyukur, maka ketahuilah akibatnya bahwa azab-Ku sangat pedih’ (al-Quran, surat Ibrahim/14: 7)

Keajaiban Hati

6 Mei

‘Sesungguhnya kebahagiaan, kesenangan, dan kenikmatan sesuatu bergantung pada kondisi dasarnya. Kondisi dasar sesuatu adalah menyangkut untuk apa ia diciptakan. Oleh karena itu, kenikmatan mata adalah dengan melihat yang indah-indah. Kenikmatan telinga adalah dengan mendengar suara-suara merdu. Begitulah seterusnya untuk anggota badan lainnya. Namun, khusus berkaitan dengan hati, kenikmatannya hanyalah manakala ia dapat mengenal Allah swt., karena hati diciptakan untuk itu. Jika manusia mengetahui apa yang tidak diketahuinya, maka senanglah ia. Begitu juga dengan hati. Manakala hati mengenal Allah swt., maka senanglah ia, dan ia tidak sabar untuk ‘menyaksikan-Nya’. Tidak ada yang maujud yang lebih mulia dibanding Allah, karena setiap kemuliaan adalah dengan-Nya dan berasal dari-Nya. Setiap ketinggian ilmu adalah jejak yang dibuat-Nya, dan tidak ada pengetahuan yang lebih digdaya dibanding pengetahuan tentang diri-Nya.’

Untaian kata-kata itu keluar dari goresan pena Hujjatul Islam, al-Imam al-Ghazali rahimahullah.

Hati memang ajaib!