Tag Archives: yahudi

Kisah Tiga Roti dan Tiga Batu Emas

11 Mei

Wahb bin Munnabih adalah salah satu alim besar di zamannya. Lahir di masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Dengan begitu, ia termasuk generasi tabi’in. Kelebihannya adalah kemampuannya dalam menganalisis kitab-kitab suci Ahlul Kitab. Dia sendiri pernah mengatakan, ‘Aku sudah membaca 30 kitab yang turun kepada 30 Nabi’. Ia juga terkenal dengan koleksi kisahnya tentang lika-liku hidup kaum Israil.  Selama 40 tahun, Wahb tidak pernah mencaci angin (karena memang ada larangan dari Rasul untuk mencaci angin). Selama 20 tahun, ia melakukan shalat Isya dan Shubuh dengan satu kali wudhu’. Sewaktu melaksanakan haji pada tahun 100 H, ia didatangi para ahli fiqh terkemuka saat itu, di antaranya adalah Atho’ dan Hasan al-Bashri.

Begitulah biografi singkat dari Wahb bin Munabbih, sebagaimana yang ditulis oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’.

Nah, kali ini Wahb bin Munabbih akan bercerita kepada kita tentang kisah Nabi Isa dan Batu Emas. Nabi Isa adalah salah satu Nabi yang berasal dari kalangan Yahudi dan diutus kepada bangsa Yahudi. (Baca juga tulisan sebelumnya tentang turunnya Nabi Isa pada akhir zaman). 

Suatu hari Nabi Isa melakukan perjalanan ditemani seorang Yahudi. Nabi Isa membawa satu roti, sedangkan orang Yahudi membawa dua roti.

Sampai pada suatu tempat, Nabi Isa berkata, ‘Bagaimana kalau sekarang kita makan bersama?’ Yahudi itu menjawab, ‘Baiklah’. Tapi ketika ia mengetahui bahwa Nabi Isa hanya punya satu roti, ia menyesal. Dia berpikir bahwa satu rotinya akan dimakan oleh Nabi Isa. Ia tidak ingin hal itu terjadi.

Sebelum makan, Nabi Isa mencari tempat untuk berdoa. Di saat itu pula, orang Yahudi juga mencari tempat untuk makan satu rotinya secara diam-diam.

Tibalah waktunya makan. Masing-masing mengeluarkan makanannya. Ketika Nabi Isa melihat Yahudi hanya mengeluarkan satu roti, Nabi Isa berkata kepadanya, ‘Di manakah satu roti lagi?’ Yahudi itu menjawab, ‘Saya hanya punya satu roti ini, kok’.

Lalu Nabi Isa makan satu roti dan orang Yahudi makan satu roti. Kemudian mereka pergi, meneruskan perjalanan.

Di perjalanan, mereka melewati sebuah pohon. Nabi Isa berkata kepada Yahudi, ‘Bagaimana kalau kita istirahat di bawah pohon ini, tidur sampai pagi hari?’ Yahudi itu berkata, ‘Baik, mari kita lakukan’. Mereka berdua tidur di bawah pohon itu sampai pagi hari.

Pagi hari, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan orang buta. Nabi Isa berkata kepadanya, ‘Bagaimana kalau aku menyembuhkan matamu, sehingga Allah mengembalikan penglihatanmu, apakah engkau akan bersyukur kepada Allah?’ Orang buta itu menjawab, ‘Ya, tentu saja’.

Lalu Nabi Isa mengusap mata orang buta itu dan berdoa kepada Allah. Setelah itu, orang buta itu dapat melihat. Kemudian Nabi Isa berkata kepada orang Yahudi yang menemaninya, ‘Demi Dia yang telah memperlihatkan kepadamu bagaimana orang buta ini dapat melihat, apakah engkau punya satu roti lainnya?’ Yahudi itu menjawab, ‘Demi Tuhan, hanya ada satu roti’. Nabi Isa terdiam.

Mereka meneruskan perjalanan, hingga melewati seekor rusa. Lalu Nabi Isa memanggil rusa itu, kemudian menyembelihnya dan memakannya. Sehabis menikmati daging rusa, Nabi Isa berkata, ‘Wahai rusa, berdirilah dengan izin Allah’. Maka rusa itu kembali hidup, seperti sedia kala.

Yahudi itu berkata, ‘Mahasuci Allah’. Nabi Isa berkata, ‘Demi Dia yang telah memperlihatkan mukjizat ini kepadamu, siapakah yang memakan roti ketiga itu?’ Orang Yahudi itu menjawab, ‘Hanya ada satu roti, sebagaimana yang sudah saya katakan’.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan, hingga tiba di sebuah perkampungan. Tak disangka, di dekat mereka ada tiga batu besar terbuat dari emas. Nabi Isa berkata, ‘Satu batu emas untukku, satu untukmu, dan satu lagi untuk orang yang punya roti ketiga’. Mendengar ucapan Nabi Isa, orang Yahudi berkata, ‘Akulah yang punya roti ketiga itu. Aku memakannya ketika engkau sedang berdoa’.

Nabi Isa berkata, ‘Kalau begitu, semua batu ini untukmu’. Lalu Nabi meninggalkan Yahudi itu.

Tinggallah orang Yahudi itu sendiri. Ia mencoba membawa tiga batu emas itu, namun ia tidak sanggup membawanya. Tidak lama kemudian, lewatlah tiga orang, lalu mereka membunuh Yahudi itu dan menguasai batu emasnya.

Tiga batu emas itu sungguh menggoda. Lalu dua orang di antara mereka berniat buruk kepada salah satunya. Lalu salah satunya berkata, ‘Pergilah engkau ke perkampungan terdekat. Belilah makanan untuk kita’. Setelah orang itu pergi, satu orang berkata, ‘Jika nanti ia datang, kita bunuh saja, dan emas ini kita bagi berdua’. Temannya setuju.

Sementara temannya yang sedang mencari makanan berkata dalam hati, ‘Nanti setelah membeli makanan, maka aku akan taburkan racun di dalam makanan itu agar mereka mati keracunan. Dengan begitu, aku sendiri yang menguasai batu emas itu’.

Sampailah orang itu dengan membawa makanan yang telah ditaburi racun. Lalu dua orang temannya langsung membunuhnya. Kemudian keduanya menikmati makanan itu. Tak lama kemudian, keduanya mati juga.

Setelah peristiwa itu, Nabi Isa melewati batu itu bersama para sahabatnya yang lain. Ketika ia melihat ada 4 orang mati di samping batu emas itu, ia berkata kepada para sahabatnya sambil menunjuk batu emas dan orang-orang yang mati itu, ‘Begitulah dunia memperlakukan penghuninya. Oleh karena itu, berhati-hatilah kalian’.

Pesan moral kisah ini sungguh jelas. Pertama, pilihlah teman perjalanan yang baik, apakah itu istri, suami, atau sahabat. Kedua, jangan berlaku culas terhadap teman perjalanan. Ketiga, jika hati terlalu terpikat dengan dunia, maka ia tidak akan sanggup menghadapi godaan dunia. Keempat, harta berpotensi untuk membuat gelap hidup. Demi harta, orang rela bunuh-membunuh. Inilah yang dimaksud Rasulullah ketika beliau bersabda, ‘Sesungguhnya yang aku kuatirkan terhadap kalian sesudahku adalah terbukanya sebagian kemewahan dan gemerlap dunia’ (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Yang membuat kita selamat di dunia adalah manakala kita menghiasi hidup kita dengan zikir (ingat, mawas diri) kepada Allah, menjadikan apapun sebagai sarana untuk dekat kepada Allah, mendekatkan diri dengan para ulama, dan terus belajar sepanjang hidup. Begitulah pesan Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi.

Masuk Surga dengan Sebutir Rambutan

4 Feb

Dalam buku Bumi dan Langit Ikut Menangis, saya menulis 26 kisah menuju tadabbur al-Quran. Semua kisah itu saya tulis dengan berkaca pada peristiwa-peristiwa yang dekat dengan keseharian hidup kita. Semua kisah itu penuh dengan ajaran tentang akhlak mulia, kearifan, dan kesejukan hidup. Membaca dari awal sampai akhir kisah-kisah yang ada dalam buku itu, insya Allah akan membuat Anda semakin percaya bahwa al-Quran adalah The Amazing Book.

Anda ingin masuk surga hanya dengan sebutir rambutan? Nah, kali ini saya akan tuliskan salah satu kisah dalam buku tersebut: Masuk Surga dengan Sebutir Rambutan.

Madinah adalah kota yang memiliki perkebunan kurma yang subur. Jika kita berkunjung ke kota Madinah, maka kebun kurma dapat kita jumpai sepanjang jalan. Menurut sejarah, yang pertamakali menanam pohon kurma di bumi adalah Anus bin Syits, cucu Adam alayhissalam. Di Madinah, yang pertamakali bercocoktanam kurma adalah masyarakat Bani Qurayzhah dan Bani Nadhir. Sebagamana kita ketahui, Bani Qurayzhah dan Bani Nadhir adalah dua komunitas Yahudi di Madinah.

Kebun kurma adalah asset penting bagi masyarakat Madinah. Makin luas kebun kurma seseorang, maka makin tinggi kedudukan sosialnya. Pada zaman Nabi, orang yang paling banyak hartanya adalah Abu Thalhah al-Anshari radhiyallahu anhu. Harta yang paling ia cintai adalah Bayraha, yaitu kebun kurma yang menghadap ke Masjid Nabawi. Rasulullah saw. seringkali masuk ke dalam kebun itu dan meminum air yang ada di dalamnya.

Dalam kitab Tafsir-nya, Ibnu Katsir menceritakan riwayat tentang kebun kurma Abu Thalhah. Ceritanya adalah Abu Thalhah mendengar bahwa telah turun wahyu kepada Rasulullah saw.,

‘Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfaq-kan sebagian harta yang kamu cintai. Dan, apa saja yang kamu infaq-kan, maka Allah sungguh mengetahuinya’. (al-Quran, surat Alu Imran/3: 92)

Lalu Abu Thalhah mendatangi Rasulullah. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, Allah berfirman bahwa ‘kalian tidak akan mendapatkan kebaikan sampai kalian mau menginfakkan sebagian yang kalian cintai’. Sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai adalah Bayraha. Kini kebunku itu aku jadikan sedekah karena Allah, demi mengharapkan kebaikan dan kekekalan sedekah itu di sisi-Nya. Oleh karena itu, wahai Rasulullah, terimalah sedekahku ini sebagaimana yang diinginkan Allah’.

Rasullah saw. berkata, ‘Wah.. wah.. wah…, itu harta yang benar-benar menggiurkan. Aku sudah mendengar keinginanmu. Tapi, aku punya usul bagaimana kalau kau sedekahkan kepada kerabatmu saja?’

Abu Thalhah menjawab, ‘Baiklah, kalau begitu aku akan melaksanakan perintahmu, wahai Rasulullah’. Kemudian Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada kerabatnya dan keluarga besarnya.

Begitu pula dengan Abu Dahdah al-Anshari, yang memiliki kebun yang berisi 600 pohon kurma. Ketika ia mendengar bahwa telah turun wahyu, ‘Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan berlipat ganda’ (surat al-Baqarah: 245), maka ia langsung mendatangi Rasulullah saw.

Sesampainya di hadapan Rasulullah saw., ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, benarkah Allah menginginkan pinjaman dari kita?’

Rasul menjawab, ‘Ya benar, wahai Abu Dahdah’.

Abu Dahdah berkata, ‘Sekarang, tunjukkan tanganmu wahai Rasulullah’.

Maka Rasulullah saw. menjulurkan tangannya, lalu Abu Dahdah memegangnya sambil berkata, ‘Sesungguhnya aku memberikan pinjaman kepada Tuhanku berupa kebun kurmaku’.

Lalu Abu Dahdah menuju kebun kurmanya. Sesampai di depan pintu kebunnya, ia melihat istri dan anak-anaknya sedang berada di dalamnya. Dari pintu kebun kurma, Abu Dahdah berseru, ‘Wahai istriku, keluarlah engkau, karena kebun ini sudah aku pinjamkan kepada Allah swt.’

Istrinya menjawab, ‘Baik, wahai suamiku. Sungguh, ini bisnis yang menguntungkan’.

Maka, keluarlah istri Abu Dahdah dan anak-anaknya dari kebun kurma itu.

Masya Allah, begitu dermawannya sahabat-sahabat Rasulullah saw. Jika kita ingin menghitung berapa banyak harta yang mereka infakkan di jalan Allah swt., maka datangilah penjual pohon kurma. Tanyakan berapa harga satu batang pohon kurma. Saat ini, harga pohon kurma sekitar 5 juta rupiah. Itu pun belum berbuah! Sekarang, kalikan dengan 600 batang pohon kurma. Jumlahnya: 3 milyar rupiah! Itulah infaknya Abu Dahdah.

Subhanallah, bisa jadi kita akan pikir-pikir untuk mengeluarkan infak sebesar itu. Meskipun kita tidak seperti Abu Talhah dan Abu Dahdah yang memiliki ratusan pohon kurma, namun kita masih bisa menanam pohon-pohon lain yang menghasilkan buah.

Rasulullah bersabda, ‘Jika seorang Muslim menanam sebuah pohon atau berkebun, kemudian buahnya dimakan manusia, binatang, atau lainnya, maka itu bernilai sedekah bagi yang menanamnya’ (Hadits, riwayat Muslim)

Islam mengajarkan kepada kita agar setiap nikmat yang kita miliki dapat dirasakan manfaatnya juga oleh makhluk lain. Oleh karena itu, apapun pohon-buah yang kita tanam di halaman rumah kita berbuah lebat, berikan sebagian buahnya kepada kerabat, tetangga, atau tamu kita. Selain itu pula, kita tidak perlu marah ketika buah pohon yang kita tanam dimakan serangga, burung, kampret, atau bahkan dicuri orang. Relakan, karena kita mendapatkan pahala darinya.

Ternyata, buah durian, mangga, jambu, salak, atau rambutan yang kita tanam di halaman rumah dapat menuntun kita menuju surga.

[ ]

Note:

Temukan 26 kisah lain yang mencerahkan dalam buku Bumi dan Langit Ikut Menangis.

Daftar Isi:

Masuklah dalam Benteng Perlindungan yang Paling Kokoh (Tadabbur Surat al-A’raf ayat 200)

Ikhlas Beribadah: Belajar dari Jantung al-Fatihah (Tadabbur Surat al-Fatihah ayat 5)

Semua Karena Rahmat Allah (Tadabbur Surat alA’raf ayat 156)

Jangan Terlalu Sibuk dengan Dunia (Tadabbur Surat al-Hadid ayat 20)

Bumi dan Langit Ikut Menangis (Tadabbur Surat ad-Dukhan ayat 29)

Berteman Sampai Akhirat (Tadabbur Surat az-Zukhruf ayat 67)

Ampuni Aku Ya Allah… (Tadabbur Surat Hud ayat 90)

Jangan Mempersulit Diri, Jadilah Muslim yang Moderat (Tadabbur Surat al-Baqarah ayat 67)

Masuk Surga Bersama Keluarga (Tadabbur Surat at-Thur ayat 21)

Masuk Surga dengan Sebutir Rambutan (Tadabbur Surat Alu Imran ayat 92)

The Miracle of Shalawat: Menyinari Wajah dan Kalbu (Tadabbur Surat al-Ahzab ayat 56)

Nikmat Tuhan yang Mana Lagi (Tadabbur Surat ar-Rahman ayat 33)

Mengambil Hikmah di Balik Musibah (Tadabbur Surat al-Baqarah ayat 155-157)

Berjuta Kebaikan Buat Pembaca al-Quran (Tadabbur Surat an-Nisa’ ayat 41)

Rasul Berbisik di Telinga Kita (Tadabbur Surat al-Kahfi ayat 28)

Jangan Putuskan Bantuan Anda (Tadabbur Surat an-Nur ayat 22)

Panggilan Terindah (Tadabbur Surat al-Hujurat ayat 11)

Hidup Mulia dengan Sikap Rendah Hati (Tadabbur Surat Luqman ayat 18)

Yang Hilang dari Diri Kita: Kesantunan dan Kelembutan (Tadabbur Surat Thoha ayat 43-44)

Semua Makhluk Berdoa Untukmu (Tadabbur Surat al-Mujadilah ayat 11)

Selalu Ada Jalan Keluar (Tadabbur Surat at-Thalaq ayat 2-3)

Maafkanlah, agarHidup Anda Menjadi Tenang (Tadabbur Surat al-A’raf ayat 199)

Ingatlah Allah di Kala Senang (Tadabbur Surat as-Shaffat ayat 143-144)

Agar Harta Bertambah Berkah (Tadabbur Surat al-Qashash ayat 82)

Menjadi Orang yang Pandai Menjaga Amanat (Tadabbur Surat al-Anfal ayat 27)

Membalas Keburukan dengan Kebaikan (Tadabbur Surat Fusshilat ayat 34)

 

Mengapa Kita Perlu Berpuasa?

11 Agu

Alhamdulillah, Allah swt. telah mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan tahun ini, bulan berkah yang penuh rahmat dan ampunan. 

Selama hidupnya, Rasulullah saw. hanya berpuasa Ramadhan sebanyak 9 kali. Bisa jadi, puasa Ramadhan kita lebih banyak dari puasa Rasulullah. Nah, sampai sejauh ini, pernahkah kita bertanya: buat apa sih kita berpuasa? Mumpung kita masih berada pada hari pertama puasa, tidak ada salahnya kita bertanya seperti itu.

Banyak alasan mengapa kita perlu berpuasa. Beberapa di antara alasan itu adalah sebagai berikut.

Pertama, sebagai bentuk self-assesment (penilaian sendiri) apakah kita termasuk orang beriman atau tidak. Perhatikan, dalam surat al-Baqarah ayat 183, perintah puasa dimulai dengan lafaz iman, yaitu Ya ayyuhalladzina amanu – wahai orang beriman. Hal ini untuk membangkitkan rasa keimanan yang berada di dalam hati kaum muslim. Jika rasa iman bersarang dalam hati kita, maka seruan Allah itu akan terasa manis. Jika sebaliknya, maka puasa terasa berat.

Adalah para sahabat Rasulullah yang jika dibacakan kepada mereka ayat yang dimulai dengan lafaz Ya ayyuhalladzina amanu, maka mereka akan pasang kuping. Mengapa? Karena setelah seruan itu, pasti ada sesuatu hal penting yang perlu diperhatikan.

Nah, ayat puasa juga seperti itu. Jadi, tidak perlu heran dengan orang-orang yang tanpa malu makan/minum seenaknya di depan umum pada bulan Ramadhan. Kalaupun ada kaum muslim yang tidak berpuasa karena alasan yang dibenarkan (seperti sakit, haid, sudah tua) maka mereka hendaknya tidak melakukannya secara demonstratif. Hormatilah bulan Ramadhan, yang merupakan salah satu syi‘ar Allah. Orang yang menghormati syi‘ar Allah, tanda hatinya masih menyimpan benih ketakwaan (lihat al-Quran surat al-Hajj ayat 32) 

Beruntunglah orang yang menyambut seruan Allah itu dengan sukacita. Itu tanda keimanan masih bersarang di dalam hati.

Kedua, puasa Ramadhan menanamkan harga diri kita bahwa kita, kaum Muslim, adalah umat yang paling konsisten menjaga kontinuitas ajaran-ajaran agama langit. Perhatikan, firman Allah, ‘Telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pula kepada generasi terdahulu’ (al-Baqarah ayat 183).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa ibadah puasa bukanlah ibadah baru, yang hanya dikhususkan untuk umat muslim. Umat-umat Nabi terdahulu juga dibebani perintah berpuasa. Begitu pula, umat Yahudi dan umat Nashrani, juga dibebani perintah berpuasa. Namun, apakah dua umat ini konsisten menjalankan perintah puasa? 

Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah, bahwa ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum Yahudi dan Nashrani. Namun, kaum Yahudi meninggalkan puasa di bulan ini. Mereka hanya berpuasa satu hari dalam satu tahun, yaitu pada hari Firaun tenggelam dan Bani Israil selamat. Adapun kaum Nashrani juga melakukan puasa Ramadhan. Namun, pada saat itu udaranya sangat panas, sehingga mereka mengalihkan puasa Ramadhan itu di bulan lain, yaitu di bulan Rabi‘ (musim semi). Lalu para rahib mereka mengeluarkan fatwa, ‘Kita perlu menambahkan puasa 20 hari lagi, sebagai tebusan terhadap perbuatan kita ini’. Maka, mereka berpuasa selama 50 hari. Inilah yang dimaksudkan Allah swt, ‘Mereka menjadikan cendekiawan dan para rahib mereka sebagai tuhan tandingan bagi Allah’ (surat at-Tawbah ayat 31)

Bagaimana dengan kita kaum Muslim? Kita hanya berpuasa satu bulan. Tidak lebih. Maksimal 30 hari, dan minimal 29 hari.  Umat Muslim tidak pernah mengganti puasa Ramadhan (apakah bersamaan dengan musim panas, semi atau penghujan) pada bulan-bulan lainnya. Itu artinya kita adalah umat yang konsisten menjalankan perintah puasa Ramadhan.

Ketiga, kita perlu berpuasa untuk mengingatkan akan nikmat terbesar dalam hidup kita, yaitu nikmat turunnya al-Quran, yang membawa prinsip-prinsip kebahagiaan hidup. Atas dasar itulah, Allah berfirman, ‘Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran, yang berfungsi sebagai petunjuk-hidup (hudan) bagi manusia dan penjelasan (bayyinat) terhadap petunjuk-hidup itu, dan juga sebagai pembeda (furqan) antara yang benar dan yang salah’ (al-Baqarah ayat 185)

Sesungguhnya, tidak ada buku yang begitu mencerahkan dan praktis untuk kita amalkan, kecuali al-Quran. Begitu hebatnya al-Quran, maka tidak heran selalu saja ada orang-orang yang membuat al-Quran palsu. Namun, keaslian al-Quran akan terjaga sampai hari Kiamat, karena itu adalah janji Allah swt. Meskipun demikian, kaum Muslim tetap perlu mempelajari al-Quran dengan baik. Kata Rasulullah saw., ‘Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suat kaum dengan al-Quran dan menjatuhkan derajat kaum yang lain juga dengan al-Quran’. 

Keempat, kita perlu berpuasa agar kita tidak memperturutkan ambisi perut dan kemaluan kita. Sesungguhnya, semua kerusakan di dunia sebagian besar karena dua ambisi itu.

Imam al-Ghazali rahimahullah berkata, ‘Ketahuilah, sesungguhnya pangkal segala kerusakan bersumber dari syahwat perut. Dari syahwat perut, muncul syahwat seks. Karena syahwat perut, Adam keluar dari surga. Karena syahwat perut, orang berlomba-lomba mengejar dunia secara berlebihan’.

Apakah ada hubungan antara perilaku konsumtif dengan syahwat perut? Apakah ada hubungan antara korupsi dengan syahwat perut? Apakah ada hubungan antara perilaku free sex dengan syahwat kemaluan?

Jawabannya kita sudah tahu. 

Nabi Yusuf alayhissalam adalah public figure yang senang berpuasa, padahal ia berada di puncak kekuasaan. Karena kebiasaannya ini, banyak orang bertanya, ‘Mengapa Anda masih senang berpuasa, padahal Anda adalah orang yang menguasai perbendaharaan negara?’ Yusuf menjawab, ‘Jika aku kenyang, aku takut menjadi lupa dengan orang-orang lapar’.

Subhanallah… Andai saja para pemimpin kita, mulai dari level lingkungan sampai level kenegaraan, mau mencontoh perilaku Yusuf alayhissalam, maka betapa harmonisnya hidup manusia. 

Nah, puasa mengajarkan kita untuk menyeimbangkan dua syahwat itu: syahwat perut dan syahwat seks.

Kelima, puasa mengajak kita untuk memberikan waktu barang sejenak untuk membersihkan kotoran-kotoran ruhani kita. Siapakah manusia yang tidak pernah salah?

Ramadhan adalah training massal yang mencuci kotoran-kotoran yang menempel di dinding hati kita. Ramadhan memberi kesempatan kepada kita untuk mendekatkan diri kepada Allah, curhat kepada-Nya, dan memohon rahmat dan ampunan dari-Nya. Ramadhan adalah ghayts al-qulub – rintik hujan yang membasahi keringnya hati.

Mudah-mudahan Ramadhan kali ini menjadi salah satu Ramadhan terbaik kita. Amin.

Hikmah Turunnya Nabi Isa pada Akhir Zaman

1 Jul

Salah satu tanda akan terjadinya kiamat besar adalah turunnya Nabi Isa alayhissalam dari langit ke bumi. Sebagian orang menganggap Nabi Isa sudah wafat. Yang benar adalah beliau diangkat oleh Allah ke langit, bersama ruh dan badannya. Dengan demikian, beliau masih hidup di langit dan akan turun pada akhir zaman. Ini adalah salah satu keyakinan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Hadits-hadits yang membicarakan turunnya Nabi Isa pada akhir zaman sangat banyak. Menurut Ibnu Katsir lebih dari 18 hadits. Mayoritas haditsnya mutawatir, karena lebih dari 25 orang sahabat meriwayatkannya, lebih dari 30 orang tabi‘in meriwayatkannya, dan lebih banyak lagi dari kalangan tabi‘ at-tabi‘in. Sehingga tidak mengherankan hadits-hadits tentang turunnya Nabi Isa disebutkan imam-imam hadits dalam kitab-kitab hadits mereka. 

Ada orang alim dari India yang mengumpulkan hadits-hadits itu dalam satu buku. Namanya Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri, yang menuliskannya dalam karyanya at-Tashrih bi Ma Tawatir fi Nuzul al-Masih.

Mengapa Allah swt. menurunkan Nabi Isa pada akhir zaman? Beberapa ulama menyebutkan hikmahnya, antara lain: 

Pertama, sebagai bentuk sanggahan terhadap orang-orang Yahudi yang menduga bahwa mereka telah membunuh Isa. Maka Allah menjelaskan kebohongan dugaan mereka, bahkan Nabi Isa sendiri yang akan membunuh orang-orang Yahudi dan gembong mereka yang bernama Dajjal. 

Kedua, sebagai bentuk sanggahan kepada orang-orang Nashrani yang telah menyifatinya dengan sifat-sifat yang tidak benar, seperti bahwa Isa adalah Tuhan dan anak Tuhan. Nabi Isa akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan memberlakukan jizyah (upeti terhadap non-Muslim). 

Ketiga, Nabi Isa membaca Injil yang di dalamnya ada berita tentang keistimewaan ummat Muhammad saw. Oleh karena itu, beliau berdoa kepada Allah agar menjadikannya salah satu ummat Muhammad. Allah mengabulkan doanya dengan mengangkatnya ke langit, dan pada akhir zaman akan diturunkan kembali ke bumi. Ayat yang dibaca Isa dalam Injil adalah sebagaimana yang dijelaskan al-Quran surat al-Fath ayat 29,

 ‘…Demikianlah sifat-sifat mereka (ummat Muhammad) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, sehingga tunas itu membuat tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas akarnya…’ 

Imam Malik rahimahullah berkata, ‘Telah sampai informasi kepadaku bahwa ketika orang-orang Nashrani melihat sahabat-sahabat Rasul yang berhasil menguasai negeri Syam, mereka berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya mereka lebih baik dari al-Hawariyyin (para sahabat Nabi Isa)’.’

Bahkan, Imam adz-Dzahabi dalam karyanya Tajrid Asma’ al-Shahabah berkata, ‘Isa bin Maryam adalah seorang Nabi sekaligus sahabat Rasulullah, karena beliau pernah melihat Rasulullah pada malam Isra, lalu beliau mengucapkan salam kepada Rasulullah. Beliau adalah sahabat Rasulullah yang matinya paling akhir’. 

Keempat, turunnya Nabi Isa ke bumi adalah menandakan bahwa ajalnya sudah dekat dan akan dikuburkan di bumi, karena makhluk yang tercipta dari tanah akan kembali ke tanah.

Kelima, sebagai bentuk penghormatan bahwa Rasulullah lebih mulia dibanding dirinya. Bahkan Nabi Isa pernah berkata kepada para ummatnya bahwa akan datang seorang Rasul sesudahnya. Dalam al-Quran, perkataan Nabi Isa itu terdapat dalam surat as-Shaff ayat 6,

‘Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata, ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)…’ 

Lalu, ketika Nabi Isa turun ke bumi, apakah beliau membawa agama baru? Jawabnya: beliau turun tidak membawa agama baru, karena Islam adalah agama paling akhir dan tidak ada Nabi setelah Muhammad saw. Nabi Isa turun untuk menjadi pengikut umat Muhammad saw,  menjadi hakim (pemimpin) yang adil, menghancurkan salib, membunuh babi, memberlakukan upeti (jizyah) terhadap non-Muslim, dan meluruskan umat untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam.