Tag Archives: sabar

Sabar dan Sukses adalah Dua Sahabat Lama

14 Apr

Suatu kali Imam as-Syafii rahimahullah ditanya, ‘Wahai Abu Abdillah, mana yang lebih utama bagi seseorang: dia diberi kedudukan lalu bersyukur atau dia diuji lalu bersabar?’

Imam as-Syafii menjawab, ‘Seseorang tidak akan diberi kedudukan sampai dia diuji. Sesungguhnya Allah telah menguji Nuh, Ibrahim, Muhammad shalawatullah alayhim ajma‘in. Di saat mereka bersabar, maka Allah memberi kedudukan kepada mereka. Oleh karena itu, janganlah seseorang menyangka bahwa ia akan bebas dari penderitaan selama hidupnya’.

Ya, para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang paling banyak diuji. Nabi Nuh pernah dipukuli oleh kaumnya sampai pingsan, lalu dibiarkan tergeletak sendirian di pinggir jalan. Nabi Ibrahim dilempar ke dalam api. Nabi Yusuf dimasukkan ke dalam sumur tua oleh saudara-saudaranya sendiri dan dimasukkan penjara karena fitnah wanita. Nabi Ya‘qub kehilangan putranya (Yusuf) dan penglihatannya. Nabi Ayyub ditimpa penyakit bertahun-tahun. Nabi Musa dikejar-kejar tentara Firaun yang ingin membunuhnya. Dan seterusnya.

Dengan kesabaran yang baik, akhirnya para Nabi dan Rasul berhasil mengatasi segala persoalan yang menghadangnya. Para rasul yang paling berat ujiannya adalah: Nabi Nuh, Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad. Karena beratnya ujian mereka, maka Allah menamai mereka dengan Ulul Azmi (yang memiliki keteguhan menghadapi cobaan dari kaumnya).

Kita sering mengucapkan dan mendengar kata sabar. Kata ‘sabar’ sudah melekat dalam hidup kita sehari-hari. Secara bahasa, sabar artinya ‘menahan diri’. Dalam al-Quran, lebih dari 70 kali Allah menyebut masalah sabar. Allah swt. memerintahkan kita sabar dalam melakukan ketaatan, sabar dalam menghindari maksiat, dan sabar dalam menghadapi persoalan hidup. 

Sabar dan sukses adalah dua sahabat lama. Jika si Sabar berjalan di depan, maka si Sukses akan mengiringinya dari belakang.

Dahsyatnya Doa Nabi Yunus

25 Mar

Nabi Yunus alayhissalam diutus oleh Allah swt. kepada masyarakat Naynawa, yang terkenal dengan kekafirannya. Nampaknya, Nabi Yunus kurang sabar dengan perlakuan kaumnya. Dalam keadaan kesal, ia pergi meninggalkan kaumnya menuju tepi laut. Kemudian ia menumpang kapal yang akan berlayar. Di tengah lautan, kapal diterpa badai dan angin kencang. Untuk menghindari kapal karam, muatan kapal harus dikurangi. Semua penumpang kapal sepakat untuk melakukan undian. Siapa yang namanya keluar, maka dialah yang harus dilemparkan ke lautan. Ternyata, yang keluar adalah nama Nabi Yunus. Akhirnya, Nabi Yunus menceburkan dirinya ke lautan, dan ia ditelan ikan besar. Al-Quran menyebut ikan itu dengan Hut atau Nun. Namun, Allah swt. mewahyukan ikan itu untuk tidak memakan tubuh Nabi Yunus.

Ada yang mengatakan Yunus a.s. tinggal di dalam perut ikan selama 3 hari, 7 hari, bahkan 40 hari. Selama itu ia berdoa kepada Allah swt., ‘Allahumma, la ilaha illa anta. Subhanaka, inni kuntu minazzhalimin – ya Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sungguh aku ini termasuk orang-orang yang zalim’.

Doa Yunus menembus Arsy, sampai-sampai para malaikat berkata, ‘Ya Rabb, sepertinya ini adalah suara orang lemah yang sudah dikenali, yang datang dari negeri yang jauh dan asing’. Allah bertanya, ‘Tahukan kalian, suara siapakah itu?’ Malaikat menjawab, ‘Suara siapakah itu?’ Allah berkata, ‘Itu adalah suara Yunus, hamba-Ku’. Malaikat berkata, ‘Yunus yang amalnya senantiasa naik ke langit dan doanya dikabulkan? Ya Rabb, tidakkah Engkau menaruh belas-kasih padanya lantaran dia senantiasa memuji-Mu di saat senang, dengan begitu Engkau selamatkan ia di saat terjepit seperti ini?’ Allah menjawab, ‘Ya, tentu saja’. Maka, Allah memerintahkan kepada ikan hut untuk melemparkan Yunus ke daerah tandus.

Yunus terdampar di sebuah pulau yang tandus, dalam keadaan lemah. Lalu, Allah mengembalikan kekuatannya dengan menumbuhkan pohon labu di dekatnya. Bukan hanya itu, Allah mengembalikan seribu umatnya dalam keadaan beriman, dan Allah berikan kemakmuran hidup kepada mereka. (Q.s. as-Shaffat/37: 145-148)

Doa Nabi Yunus adalah salah satu doa mustajab. Kita dianjurkan untuk sering membacanya, lebih-lebih di saat kita mengalami kesulitan. Saya punya cerita menarik tentang hal ini.

Siang itu, 8 Dzulhijjah, para jamaah haji yang berada di Mekkah mulai bergerak menuju Arafah. Meskipun wuquf baru dilaksanakan keesokan harinya, namun jamaah haji sudah diberangkatkan satu hari sebelumnya. Jarak antara Mekkah dan Arafah tidaklah jauh. Paling-paling 7 km, yang dapat ditempuh dalam waktu tidak berapa lama. Namun, kemacetan yang terjadi di sepanjang jalan dapat menyebabkan perjalanan menuju Arafah tidak secepat yang kita duga. Ditambah lagi, dengan kemampuan sopir yang tidak menguasai medan. Bahkan, ada kejadian bus baru tiba keesokan harinya. Pemerintah Arab Saudi tidak ingin mengambil risiko besar, karena wuquf adalah rukun haji yang paling penting. Jamaah haji yang tidak wuquf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, maka hajinya tidak sah. Oleh karena itu, jamaah haji diberangkatkan satu hari sebelum prosesi wuquf, agar pada saat wuquf, mereka benar-benar sudah berada di bumi Arafah.

Saat itu, saya dan 80 orang jamaah haji berada di dalam bus yang diberangkatkan menuju Arafah. Saya duduk di bangku paling depan, sambil memandu para jamaah haji. Suara talbiyah bergema sepanjang jalan menuju Arafah. Berulang kali, bus yang kami tumpangi berputar-putar di jalan yang sama. Saya ikut memberi panduan kepada sopir untuk mengambil rute yang seharusnya. Buat saya, sopir tidak kenal rute-jalan itu masalah biasa. Saya sering mengalaminya di kala musim haji. Maklum, mereka bukan penduduk asli Saudi Arabia. Mereka biasanya datang dari Mesir, Palestina, Syiria, dan Turki. Bahkan, dari identitas mereka yang saya baca, mereka baru menginjakkan kakinya di Mekkah beberapa hari yang lalu. Jadi, wajar saja kalau mereka sering kesasar. Untuk itu, biasanya sopir ditemani oleh satu orang dari maktab, yang ikut memandu perjalanan.

Bus yang kami tumpangi makin jauh dari arah Arafah. Jamaah mulai tahu bahwa sopir sudah salah jalan. Mereka mulai gelisah. Saya berusaha menenangkan mereka. Saya sadarkan mereka bahwa mereka sedang berihram. Saya ingatkan mereka jangan sampai keluar dari mulut mereka kalimat-kalimat yang tidak sepantasnya, karena itu akan merusak ihram mereka. Saya katakan bahwa ini adalah ujian untuk menguji kesabaran kita dalam menjalankan perintah Allah swt. Saya mengajak semua jamaah untuk membaca istighfar. Sepanjang jalan, saya selingi ucapan talbiyah dengan istighfar. Saya pun teringat dengan doa Nabi Yunus ketika berada di perut ikan Nun, ‘La ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minazzhalimin’. Saya juga meminta jamaah untuk membaca doa itu. Doa itu pun kami baca berulang-ulang. Suasana di dalam bus menjadi syahdu. Suara talbiyah, istighfar, dan doa Nabi Yunus terdengar tulus keluar dari mulut-muluh jamaah. Mereka begitu khusyu’. Sepertinya semua jamaah tidak mampu menahan tetesan air mata. Terdengar suara isak-tangis kecil.

Alhamdulillah, doa kami menembus Arsy! Allah swt. menghilangkan kegelisahan kami. Bus kami mulai berada di jalur yang benar menuju Arafah.

Kami pun menjadi lega, manakala bus kami sudah memasuki kawasan Arafah yang dipenuhi dengan kemah-kemah.

La ilaha illa anta. Subhanaka, inni kuntu minazzhalimin… Tidak ada tuhan selain-Mu. Maha Suci Engkau. Sungguh, aku ini sudah berlaku zalim…

Obat Hati

15 Mar

Kata Sayyiduna Ali radhiyallahu anhu, ‘Orang beriman itu, jika memandang suatu hal atau peristiwa, maka ia mengambil pelajaran. Jika diam, ia merenung (tafakur). Jika berbicara, maka bicaranya menggugah dan mengingatkan orang. Jika ditimpa musibah, ia bersabar. Jika mendapat kesenangan, ia bersyukur’.

Kata Hatim al-Asham rahimahullah, ‘Tanda orang beriman adalah melakukan ketaatan sambil menangis, sedangkan tanda orang munafik adalah meninggalkan amal sambil tertawa’.

Kata Fudhayl bin Iyadh rahimahullah, ‘Orang beriman itu seperti orang yang menanam bibit kurma dan ia takut kalau-kalau yang tumbuh adalah semak dan duri. Sedangkan orang munafik seperti orang yang menanam bibit duri dan ia berharap akan berbuah kurma’.

Kata Wahb bin Munabbih rahimahullah, ‘Siapa saja yang mencari dunia dengan amalan akhirat, maka Allah swt. akan menjungkirbalikkan hatinya dan mencatat nama-Nya dalam daftar ahli neraka’.

Kata Syaikh Abul Hasan as-Sadzili rahimahullah, ‘Dunia adalah anak perempuannya Iblis. Siapa saja yang ingin melamarnya, pastilah ia mondar-mandir datang kepada bapaknya. Jika ia sudah masuk ke dalamnya, maka ia akan berikan segala yang ia punya’.

Kata Abu Najih rahimahullah, ‘Jika orang beriman tidak melakukan maksiat kepada Tuhan-nya, niscaya ketika ia bersumpah atas nama Allah untuk menghilangkan gunung, maka pastilah sumpahnya itu dikabulkan Allah’

Kata Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad rahimahullah, ‘Barangsiapa yang memandang dirinya dengan pandangan kemuliaan sementara ia memandang orang lain dengan pandangan kehinaan, maka ia termasuk orang sombong’

Karakter Orang yang Percaya dengan Qadha Allah swt.

14 Mar

Percaya kepada qadha (ketentuan) Allah swt. adalah salah satu rukun iman. Dengan beriman kepada qadha Allah maka kita akan memiliki karakter sebagai berikut.

Pertama, merasa ridha dengan apa yang terjadi terhadap diri kita, karena semuanya itu adalah kehendak Allah. Bisa jadi, apa yang tidak baik menurut pandangan kita, justru membawa kebaikan untuk kita. Begitu pula sebaliknya. Allah lebih tahu apa yang baik dan buruk untuk diri kita.

Allah berfirman, ‘… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia membawa kebaikan untukmu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia membawa keburukan untukmu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui’. (Q.s. al-Baqarah/2: 216)

Oleh karena itu, orang yang beriman kepada qadha Allah, maka ia akan bersabar ketika ditimpa musibah, dan bersyukur ketika diberi nikmat. Begitulah karakter orang beriman.

Menurut pengakuan Shuhaib radhiyallahu anhu Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Sungguh fantastis kehidupan orang beriman, karena seluruh urusannya membawa kebaikan. Tidak ada orang yang seperti itu kecuali orang beriman. Jika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, maka yang demikian itu membawa kebaikan baginya. Jika ia mendapatkan nikmat, ia bersyukur, maka yang demikian itu membawa kebaikan baginya’. (Hadits, riwayat Muslim)

Kedua, tidak merasa dengki dengan orang yang diberi nikmat. Orang yang beriman kepada qadha Allah percaya bahwa rizki datang dari-Nya dan Ia memberi kadar rizki yang berbeda untuk setiap makhluknya.

Ketiga, memiliki jiwa yang mulia dan hati yang qana‘ah (merasa-cukup)

Keempat, menyerahkan segala urusan-hidup kepada Allah dengan lapang dada dan hati yang senang

Kelima, bersungguh-sungguh dalam berusaha tanpa dihinggapi rasa lemah dan malas. Semua ini dilakukan untuk mengikuti tuntunan Rasulullah, di mana beliau bersabda, ‘Bersungguh-sungguhlah melakukan sesuatu yang mendatangkan manfaat untuk diri kalian, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kalian lemah. Jika kalian ditimpa sesuatu yang kurang menggembirakan, janganlah kalian berkata, ‘Kalau saja aku melakukan begini, pasti hasilnya juga begini’. Namun, katakanlah, ‘Allah sudah menakdirkannya dan menghendakinya’. (Hadits, riwayat Muslim)

Keenam, memiliki cita-cita yang kuat dan pantang menyerah. Muslim adalah orang yang tahan banting. Baginya, hidup adalah perjuangan.

Kicauan Burung di Pinggir Jalan Pasar Jatinegara

17 Feb

Di antara kerumunan orang yang menyalami saya, seorang lelaki tua menghampiri saya. Dia memberi salam, lalu mencium tangan saya. Saya rasakan keikhlasannya di saat ia mencium tangan saya bolak-balik. Saya lihat matanya mengembang, menahan jatuhnya air mata. Saya tersenyum padanya sambil mengusap-usap pundaknya. Ia begitu senang dengan keramahan saya, dan kembali mencium tangan saya.

‘Pak Ustadz, saya minta waktu sebentar’, begitu kata laki-laki tua itu ketika saya bersiap membuka pintu mobil, meninggalkan majlis akad nikah.

‘Oya, silakan, Pak’, jawab saya. 

‘Saya terkesan dengan ceramah Pak Ustadz tadi, apalagi kisah penutupnya. Mudah-mudahan Pak Ustadz selalu dalam lindungan Allah swt.’, kata laki-laki tua itu. Saya mengaminkan apa yang dikatakannya.

Entah sudah berapa kali saya diminta berceramah di acara akad nikah, dan acara-acara lainnya, di hadapan audiens yang beragam. Di setiap akhir ceramah, biasanya saya menutupnya dengan kisah. Kisah yang baik dapat menembus kerasnya hati. Dengan berkisah, sebenarnya saya tidak ingin menceramahi, menasihati, apalagi mencaci orang lain. Dengan berkisah, orang lain tanpa sadar sudah membuka hatinya. Inilah yang disukai manusia. Dan ini pula yang diperintahkan Allah swt. kepada para rasul-Nya dalam mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Dengan berkisah, sebenarnya saya menutupi kelemahan saya, yaitu ketiadaan ilmu yang memadai.

Kembali ke laki-laki tua tadi. Dia tersentuh dengan kisah saya bahwa rumahtangga SAMARATA (sakinah, mawaddah, rahmah, dan takwa) perlu diisi dengan rasa syukur, sabar, dan canda-tawa.

Ceritanya, ada sepasang suami istri yang sudah lama berumah tangga. Sang suami, wajahnya pas-pasan, dengan penghasilan yang pas-pasan pula. Sedangkan sang istri, cantik mempesona. Bagai langit dan bumi perbedaan keduanya. Namun, perbedaan itu tidak membuat mereka terbelah, karena ada rasa syukur, sabar, humor dalam rumah tangga mereka.

Sang istri yang cantik berkata kepada suaminya, ‘Bang, sungguh aku berharap kita sama-sama bisa masuk surga’.

Suaminya berkata, ‘Kok bisa begitu?’

Sambil tersenyum kecil dan bercanda, istrinya berkata, ‘Abang sudah diberikan Allah istri yang cantik seperti saya, dan Abang bersyukur. Saya sudah diberikan Allah suami yang wajahnya dan penghasilannya ala kadarnya seperti Abang, dan saya bersabar. Kata Allah, orang yang bersyukur dan bersabar bakal masuk surga. Bener kan, Bang?’

Mendengar perkataan istrinya, sang suami mencium kening istrinya. Rasanya ia bangga punya istri seperti itu.

Itulah kisah penutup saya dalam ceramah tadi. Laki-laki tua itu tersentuh dengan kisah ini. Saya lihat para Kyai senior yang hadir di acara itu juga ikut mengangguk-anggukkan kepala mendengar kisah itu, karena saya menyampaikannya dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab. Mereka tidak tahu, sebenarnya saya hanyalah burung kecil yang dijual di pinggir jalan Pasar Jatinegara. Bisanya hanya berKICAU. Kadangkala kicauan itu tidak enak didengar telinga karena iramanya KACAU.

Di balik kicauan yang kacau, paling tidak sang burung ingin menitip pesan bahwa ‘syukur, sabar, dan humor yang fresh merupakan tiga bumbu yang menyeimbangkan citarasa masakan yang bernama rumahtangga dan kehidupan’.

Begitulah…