Akhlak kepada Rasulullah saw.: Belajar dari Imam Malik dan Kalajengking

25 Feb

Makam Imam Malik di Baqi' al-Gharqad, Medinah.Di Madinah, ada kompleks kuburan tua yang bersejarah. Namanya Baqi’. Lengkapnya: Baqi’ al-Gharqad, karena dulunya tempat ini penuh dengan pohon gharqad (sejenis pohon duri di gurun). Kini, lokasinya menyatu dengan halaman Masjid Nabawi, namun dibatasi dengan tembok besar yang mengelilinginya.

Ribuan sahabat Rasul dikuburkan di sini. Fathimah az-Zahra dan ahlul bayt (keluarga Rasul) lainnya juga dikuburkan di sini. Kubur ahlul bayt adalah objek ziarah yang paling dipadati pengunjung, lebih-lebih oleh kelompok Syiah.

Tidak jauh dari kubur ahlul bayt, ada kubur dua putri Rasulullah, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Di sebelah kubur mereka, ada kubur istri-istri Rasulullah. Semua istri Rasul dikuburkan di sini, kecuali Khadijah (di Ma’la, Mekkah) dan Maymunah (di perbatasan kota Mekkah dan Madinah).

Tidak banyak orang yang mengenali siapa yang dikuburkan di Baqi’, karena semua kubur tanpa nama. Yang paling mudah dikenali adalah kubur Sayyiduna Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Tempatnya strategis, tersendiri, dan nyaman untuk diziarahi.

Setelah shalat Shubuh di Masjid Nabawi dan berziarah kepada Rasulullah saw. dan dua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma), saya terus menuju Baqi’. Ini adalah kebiasaan saya jika saya sedang berada di Madinah.

Ziarah kubur bukan hanya mengingatkan kita akan fananya dunia dan kekalnya akhirat, namun juga membuat hati kita menjadi lembut dengan meneladani akhlak orang yang kita ziarahi.

Seperti yang sudah-sudah, banyak peziarah dari negara lain yang membuntuti saya. Secara diam-diam, mereka menunjuk saya sebagai guide ziarah, karena saya tahu tentang keberadaan kubur-kubur yang ada di sana. Maklum, di Baqi’ semua kubur tanpa nama. Saya teringat, para petugas yang berbadan besar dan berjenggot lebat pernah menginterogasi saya karena saya memegang kitab yang berisi informasi detail tentang orang-orang yang dikuburkan di Baqi’. Awalnya mereka bersikap kasar. Namun, setelah saya jelaskan siapa saya dan dari mana saya dapatkan kitab itu, mereka menjadi cair. Mereka tidak menyangka bahwa saya bisa berkomunikasi dalam bahasa Arab. Mereka minta maaf.

Sampailah saya di kubur Imam Malik rahimahullah. Di sebelahnya, ada kubur Nafi’, imam qiraat yang terkenal dan guru Imam Malik sendiri. Jadi, guru dan murid berdampingan. Imam Malik adalah imam besar dalam mazhab Islam. Imam Malik adalah pendiri mazhab Maliki. Jauh sebelum Bukhari, Muslim, dan lainnya menulis kitab hadits, Imam Malik sudah lebih dulu menulis kitab hadits, yang dikenal dengan al-Muwattha’ (artinya: yang paling shahih). Imam Malik lahir di Madinah, besar di Madinah, dan wafat di Madinah. Imam Malik tidak pernah menetap di negeri lain.

Bagi saya, berziarah ke kubur Imam Malik punya kesan tersendiri. Imam Malik adalah orang yang paling menghormati apa pun yang berhubungan dengan Rasulullah. Jika ia ingin mengajar di tempat lain di luar Madinah, maka ia tidak pernah menaiki kudanya dari rumahnya, sampai ia keluar dari Madinah. Dari rumahnya, ia hanya menuntun kudanya dan berjalan di sisi kudanya. Jika sudah keluar dari perbatasan kota Madinah, barulah ia menaiki kudanya. Ia takut kalau ia menaiki kudanya dari rumahnya, kudanya itu akan mengepulkan debu. Buat Imam Malik, itu sudah dianggap menyakiti Rasulullah.

Ada lagi akhlak Imam Malik yang membuat saya terkesan. Saya ingin berkisah sedikit.

Hari itu, pengajian Imam Malik dipenuhi banyak orang. Seperti biasanya, beliau mengajar hadits. Di saat beliau mengajar, paha beliau disengat kalajengking sebanyak 16 kali. Wajah Imam Malik langsung pucat, namun ia tidak menghentikan pengajiannya. Ia terus melanjutkan kajian haditsnya, seakan-akan tidak ada kejadian yang menimpanya.

Setelah pengajian selesai dan orang-orang bubar, salah satu jamaah mendekati Imam Malik. Orang itu bernama Abdullah bin Mubarak. Abdullah melihat kejadian itu.

Abdullah berkata, ‘Wahai Imam Malik, sungguh aku tadi melihat peristiwa yang luar biasa dari dirimu’.

Imam Malik berkata, ‘Ya, begitulah. Namun, aku tetap bertahan melanjutkan pengajian, karena aku begitu memuliakan hadits Rasulullah saw.’

Masya Allah…

Saya sering teringat kisah itu, lebih-lebih ketika saya sedang berada di depan makam Imam Malik. Saya kagum, dan sudah pasti merasa kecil di hadapannya.

Begitulah akhlak Imam Malik kepada Rasulullah. Bagaimana dengan kita?

Akankan kita penuhi jiwa kita dengan cacian kepada orang yang memuliakan Rasul dengan sepantasnya? Akankan kita klaim sesat orang yang mengambil pelajaran dari hari lahirnya (maulid) Rasulullah? Akankah kita klaim pelaku bid‘ah buat orang yang mengucapkan kata ‘Sayyidina’ ketika menyebut nama Rasulullah?

Ahh… kita memang sudah keterlaluan. Menghapal hadits pun tidak, apalagi mengamalkannya. Pemahaman kita terhadap sunnah Rasul baru sebatas pemahaman kelompok, dan anehnya itulah yang kita klaim sebagai kebenaran tunggal sembari mengklaim kelompok lain sesat (dan menyesatkan).

Kita belum meniru akhlaknya Imam Malik. Nampaknya, kita lebih senang menjadi kalajengking, yang menyengat saudara kita sendiri.

Allahu Akbar…

Ya Nabiyy, salam alayka…
Ya Rasul, salam alayka…
Ya Habib, salam alayka…
Shalawatullah alayka…

Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad…

7 Tanggapan to “Akhlak kepada Rasulullah saw.: Belajar dari Imam Malik dan Kalajengking”

  1. Mazlan Salim 7 Februari 2011 pada 11:22 #

    “Akankan kita penuhi jiwa kita dengan cacian kepada orang yang memuliakan Rasul dengan sepantasnya? Akankan kita klaim sesat orang yang mengambil pelajaran dari hari lahirnya (maulid) Rasulullah? Akankah kita klaim pelaku bid‘ah buat orang yang mengucapkan kata ‘Sayyidina’ ketika menyebut nama Rasulullah?”
    Tidak ada yg salah dlm memuliakan Rasul yg sepantasnya. Namun kepantasan itu tetap saja harus diukur dgn apa yg sdh yg diajarkannya.
    Tidak juga merayakan maulidnya dianggap sesat, krn sesungguhnya yg menyedihkan ketika umat hanya sekedar merayakannya tanpa makna, bahkan terkesan hura-hura.
    Apa salahnya dgn pengormatan “Sayyidina” ? Tapi mengimplementasikan akhlak Rasulullah dlm kehidupan nyata lebih utama dari sekedar menghormatinya dgn panggilan2 sayyidina.

    • Bang Aziem 7 Februari 2011 pada 13:34 #

      Perayaan maulid bisa dipakai sbg salah satu cara untuk meneladani akhlak Rasulullah. Itu hanya metode, disamping metode2 yg lain. Soal hura-hura adalah hanya ekses, itu pun tidak di setiap perayaan Maulid. Lagipula, itu hanya ‘kesan’ antum saja :). Yg namanya ‘kesan’ bersifat subjektif. Nah, tinggal kejujuran antum saja, apakah antum berniat menyadarkan orang lain atau berniat ‘menghantam’ perayaan maulid dengan berdalih bahwa perayaan itu terkesan hura-hura? Kalo antum ikhlas ingin amar ma’ruf, silakan carikan solusi lain, yang langsung dapat dipraktekkan masyarakat banyak.

      Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan ya akhi…

      Mengimplementasikan akhlak Rasul secara nyata adalah yang paling utama. Bagaimana caranya? Tidak usah muluk-muluk dgn amalan berat. Mulailah dgn amalan yg ringan. Contoh yg paling gampang adalah penggunaam kata Sayyiduna. Kalau kita sudah berat memanggil Rasulullah dgn Sayyiduna, padahal itu sangat ringan, maka apakah kita bisa mengimplementasikan akhlak Rasul yg lebih tinggi? Contoh lain: apakah seorang anak dianggap berbakti kepada orangtuanya ketika ia memanggil bapak atau ibunya langsung dgn panggilan namanya, tanpa disertai panggilan Bapak, Ibu, Mama, Bunda, Papa? Memanggil orang lain dgn panggilan terindah adalah salah satu akhlak Rasulullah sebagaimana dianjurkan dalam al-Quran.

      Kalo soal penggunaan Sayyiduna saja hati kita menolak, bagaimana kita bisa mengimplementasikan yg lain yg lebih berat? Kalau kita tdk mampu mengamalkan amalan ringan, bagaimana kita bisa mengamalkan amalan yg lebih berat?

  2. suadi al aghni 30 September 2010 pada 10:42 #

    allahu akbar
    innallaha yarhamu ila man yattaqi wa yatuubu ilaihi

  3. Rozy 16 Maret 2010 pada 07:30 #

    Allahumma sholli wasallim wabaarik ‘alaihi wa ‘alaa aalih..

    Saudaraku Bang Aziem, saya tunggu tulisan2 Abang berikutnya yg seperti ini 🙂

  4. zakilukmanhakim 3 Maret 2010 pada 17:11 #

    Cerita yang menggugah… begitu tiada berartinya saya.

    • Bang Aziem 3 Maret 2010 pada 17:56 #

      Kita memang selalu kekurangan energi jika berhadapan dgn orang besar… paling tidak: speechless…

Tinggalkan komentar